JAKARTA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menilai insentif penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan tidak tepat. Padahal pemerintah mengatur tarif PPh Badan turun dari 25% menjadi 22% pada tahun pajak 2020-2021 dan menjadi 20% pada tahun pajak 2022. Insentif dan stimulus ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Ketua Bidang Ekonomi Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI Ajib Hamdani mengatakan karena aturan penurunan PPh Badan berbentuk Perppu, maka otomatis berlaku sejak diundangkan. Artinya, PPh Badan akan menjadi 22% sejak April 2020.
Setali tiga uang, dengan berlakunya penurunan PPh Badan per bulan ini, maka potensi akhir tahun 2020, akan terjadi shortfall yang luar biasa. Untuk PPh Badan saya, proyeksi Ajib bisa menggerus penerimaan pajak hingga Rp 100 triliun. Ajib menambahkan bila skenario pertumbuhan ekonomi di kisaran 1%-2% di tahun ini, maka penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.250 triliun jauh dari target akhir tahun sebesar Rp 1.642,6 triliun. Dus, realisasi penerimaan hanya 76% dari target 2020.
“Maka potensial lost penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp 400 triliun. Tentunya ini akan menyisakan pekerjaan rumah yang dramatis,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Senin (6/4). Ajib menilai, memang penurunan tarif PPh Badan akan menjadi angin segar bagi dunia usaha di tengah pandemik virus corona. Perusahaan jadi mempunyai ruang likuiditas lebih baik untuk menganggarkan keuntungan mereka.
Kendati begitu, Ajib bilang bila pemerintah mau mendorong pertumbuhan ekonomi, seharusnya insentif lebih tepat diberikan kepada dunia usaha kelas bawah. Misalnya, melalui eskalasi peningkatan ambang tarif pajak UMKM dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 10 miliar. Atau bahkan, Kemenkeu bisa meningkatkan batas tarif penghasilan tidak kena pajak (PTKP). “Jadi insentifnya dirasakan ke lebih banyak orang dan daya beli ungkitnya lebih optimal,” ujar Ajib.
Sumber : www.nasional.kontan.co.id