Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akhirnya memakai surat pemberitahuan (SPT) tahunan 2014 menjadi basis pengurang nilai harta bersih dalam draf final rancangan undang-undang pengampunan pajak (tax amnesty). Namun, pemerintah memastikan tidak akan mengotak-atik laporan SPT Tahunan 2015.
Kendati tidak menjelaskan secara detail, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan draf rancangan undang-undang (RUU) tersebut sudah akan diajukan dahulu ke presiden. Penentuan basis pengurang nilai harta bersih juga sudah disepakati di tingkat Kemenko Perekonomian menggunakan SPT Tahunan 2014.
“Nanti liat RUU-nya. Ia 2015. Enggak diperiksa. Engga usah ngomong pakai jamin-jamin,” tegasnya singkat ketika ditemui di Kantor Pusat Ditjen Pajak (DJP), Selasa (19/1/2016).
Seperti diberitakan sebelumnya, hingga dua kali rapat di tingkat Kemenko Perekonomian, pemerintah masih belum merampungkan draf RUU yang sudah diambil alih menjadi inisiatif eksekutif tersebut. Penentuan basis pengurang nilai harta bersih masih cukup alot.
Pasalnya, jika menggunakan SPT Tahunan 2014, harta yang sudah dilaporkan dan dikenai tebusan masih berpotensi diperiksa dan dikenai pajak kembali pada akhir pelaporan SPT Tahunan 2015 sekitar Maret-April 2016.
Sementara, jika menggunakan SPT Tahunan 2015, pemerintah harus menahan sampai rampungnya pelaporan. Padahal, di saat yang bersamaan, pemerintah akan menggunakan kebijakan tax amnesty sebagai salah satu pertimbangan revisi APBN 2016.
Dihubungi terpisah, Ketua Tim Ahli Wapres Sofjan Wanandi yang ikut dalam rapat pada Senin malam (18/1) pun mengungkapkan draf sudah final. Pemerintah, dalam konteks ini DJP, tidak akan melakukan pemeriksaan SPT Tahunan 2015.
“Saya pikir sudah baik lah. Tetap pakai 2014 tapi 2015 nanti tidak diotak-atik dan tidak ada double taxation,” katanya.
Kebijakan ini, menurutnya, menjadi solusi atas kekhawatiran pengusaha atau wajib pajak (WP) yang akan mengikuti tax amnesty. Pasalnya, sekitar 99% pengusaha diklaim minat ikut kebijakan yang akan dibahas di DPR dalam masa sidang saat ini. Menurutnya, sedikitnya sekitar Rp 100 triliun bisa masuk ke pos penerimaan negara.
Dia pun menyatakan posisi terakhir, kebijakan ini tidak hanya bisa digunakan untuk WP yang ada dan memarkir dananya di luar negeri, tetapi juga bagi WP di dalam negeri. Skea insentif terkait repatriasi dana – yang dalam draf terakhir tidak ada – juga akan dicantumkan.
Sofjan melanjutkan pilihan repatriasi dana akan diarahkan untuk pembelian surat utang negara selama satu tahun. Setelah itu, WP bisa menggunakan wadah investasi lain seperti infrastruktur, properti, maupun usaha ritel.
Terkait tarif tebusan, dia menyatakan tidak ada perubahan dari usulan awal, yakni untuk tiga bulan pertama, dikenakan sebesar 2% terhadap selisih nilai harta bersih yang dimohonkan tax amnesty-nya dengan nilai harta bersih dalam SPT tahunan yang menjadi basis pengurang. Sisanya, tarif tebusan 4% dan 6% dikenakan untuk permohonan tiga bulan kedua dan semester II.
Selain itu, bagi WP yang melakukan repatriasi dananya, tarif tebusan yang akan digunakan yakni 1% untuk tiga bulan pertama, 2% tiga bulan kedua, dan 3% bagi WP yang mengeksekusi keikutsertaan pada enam bulan terakhir masa berlaku kebijakan.
Suryadi Sasmita, Wakil Ketua Umu Apindo yang mewakili pengusaha dalam rapat pembahasan awalnya menginginkan SPT Tahunan 2015 yang menjadi basis pengurangan harta bersih. Namun, dengan adanya penggunaan tahun buku 2015 – sehingga tidak ada pemeriksaan kembali SPT Tahunan 2015 – pemakaian basis SPT Tahunan 2014 merupakan ketentuan yang sudah cukup adil bagi WP maupun pemerintah.
“Pro-kontra tatap ada tapi dengan keputusan terakhir kemarin buat mayoritas pengusaha sudah cukup adil,” katanya.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menyambut baik keputusan terakhir darf tax amnesty tersebut. Menurutnya, penerapan kebijakan ini cukup tepat karena menjelang implementasi automatic exchange of information (Aeol) akhir 2017.
“Jadi semua pelaku usaha berkompetisi dalam playing field yang sama,” katanya.
Selain itu, dia menyatakan tax amnesty akan memberikan efek positif bagi peningkatan basis pajak dan kepatuhan WP.
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai jika memang segera ingin dilakukan keputusan ini sudah memberikan win-win solution. Namun, menurutnya masih ada beberapa dispute teknis yang rawan.
Salah satunya yakni terkait dengan penilaian harta sesuai harga pasar yang membutuhkan appraisal dan secara teknis memakan waktu. “Apakah akan langsung disetujui atau tidak? Jika Tidak, bagaimana dispute settlementnya? Jika lewat bulan bagaimana tarif yang berlaku?” katanya.
Secara umum, sambungnya, pemerintah perlu meletakkan tax amnesty pada reformasi sistem perpajakan yang berkelanjutan untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik. Tax amnesty tidak berdiri sendiri melainkan menjadi bagian dari strategi reformasi struktural berupa perbaikan iklim investasi, perbaikan regulasi, dan tata kelola.
Tanpa persiapan matang, kebijakan ini berpotensi membawa dampak negatif seperti munculnya persepsi ketidakadilan WP yang patuh, menunjukkan kelemahan penegakan hukum terhadap pengemplang pajak, dan lemahnya administrasi pajak.
“Kalau dipelototin satu-satu, RUU ini masih lemah dan banyak bolong. Jika PMK tidak boleh mengatur norma baru, maka UU harus sempurna,” katanya.
Kurniawan A. Wicaksono
Bisnis.com
Rabu, 20 Januari 2016