PANDANGAN umum masyarakat terhadap tujuan diadakannya tax treaty adalah untuk menghindari pajak berganda. Tidak mengherankan apabila tax treaty dalam jargon pajak Indonesia pun sering disebut dengan singkatan ‘P3B’, yaitu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Pertanyaannya, apakah betul tax treaty dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pajak berganda?
Pada umumnya, pajak berganda dapat terjadi apabila terdapat dua atau lebih negara yang melakukan klaim hak pemajakan atas penghasilan yang sama. Kondisi ini sering ditemukan apabila satu negara mempunyai hak pemajakan karena sumber penghasilannya berasal dari negara tersebut (negara sumber), sedangkan negara lainnya mempunyai hak pemajakan karena penerima penghasilannya merupakan subjek pajak negara tersebut (negara domisili).
Dalam konteks ini pajak berganda dianggap sebagai salah satu hambatan utama dalam ekonomi global. Oleh karena itu, pencegahan pajak berganda menjadi hal yang penting untuk dicapai oleh negara-negara dalam rangka memajukan ekonomi global.
Tax treaty selama ini dianggap sebagai cara paling efektif untuk mencegah pajak berganda. Namun, perlu diperhatikan tax treaty bukanlah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan tersebut. Di banyak negara, pencegahan pajak berganda juga sudah dapat dicapai dengan ketentuan domestik sepihak (unilateral measures).
Di Indonesia misalnya, terdapat Pasal 24 UU Pajak Penghasilan (PPh) yang memberikan kredit pajak atas penghasilan luar negeri wajib pajak Indonesia terlepas dari ada atau tidaknya tax treaty antara Indonesia dan negara bersangkutan.
Apabila semua negara mempunyai ketentuan yang ekuivalen dengan Pasal 24 UU PPh, dapat dikatakan pajak berganda sebenarnya sudah nyaris tidak ada, kecuali bagi isu transfer pricing yang merupakan isu pajak berganda secara ekonomi.
Perlu diperhatikan Pasal 24 UU PPh bukanlah suatu ketentuan unik yang hanya terdapat di Indonesia. Faktanya, sebagian besar negara di dunia mempunyai ketentuan unilateral measure tersebut (Dagan, 2018).
Apabila pajak berganda sebenarnya sudah tidak ada lagi, pertanyaannya adalah apakah tax treaty benar-benar masih dibutuhkan? Mayoritas akademisi menyatakan tax treaty tidak absolut dibutuhkan untuk mencegah pajak berganda (Thuronyi, 2010; Easson, 2000; Jones, 1999; Dagan, 2000).
Apabila negara-negara sudah mempunyai ketentuan unilateral measure, fungsi tax treaty dalam konteks pencegahan pajak berganda adalah hanya sebagai konfirmasi ulang bahwa negara tersebut akan benar-benar menerapkan unilateral measure tersebut.
Kelemahan tax treaty dalam hal ini adalah tax treaty memerlukan biaya yang tinggi, yaitu waktu dan sumber daya otoritas pajak untuk negosiasi dan menerapkan tax treaty. Terlebih lagi, tax treaty dapat menyebabkan hilangnya hak pemajakan sebagai konsekuensi penerapannya.
Sejak Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD Model 1992, sepertinya OECD pun menyadari bahwa tax treaty bukan lagi ditujukan terutama untuk mencegah pajak berganda. Hal ini dapat dilihat dari perubahan judul OECD Model dari ‘Double Taxation Convention’ menjadi hanya ‘Tax Convention’ saja. Hal ini berarti tax treaty seharusnya bukan lagi disebut sebagai ‘P3B’, tetapi lebih tepat disebut ‘Perjanjian Pajak’.
Perspektif Negara Berkembang
PERTANYAANNYA, lalu tujuan apa yang hendak dicapai negara-negara dalam mengadakan tax treaty dengan mempertimbangkan biaya tinggi terkait dengan pengadaan tax treaty, di luar dampak politis berupa pengakuan kedaulatan sebuah negara?
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan tujuan untuk mencegah pajak berganda hanya merupakan suatu mitos. Tujuan lain tax treaty setidaknya mencakup: (i) pembagian hak pemajakan antarnegara yang adil, (ii) mencegah terjadinya pengelakan dan penghindaran pajak, atau (iii) menarik investasi asing.
Dari perspektif negara berkembang, tujuan pembagian hak pemajakan yang adil patut dikritisi. Ini dikarenakan standar tax treaty internasional, baik OECD Model maupun United Nations/UN Model, masih merupakan model tax treaty yang memihak kepada negara domisili (residence based taxation).
UN Model, walaupun sedikit lebih memihak kepada negara sumber, tetap merupakan model tax treaty yang strukturnya mengikuti OECD Model sehingga tetap merupakan model tax treaty berbasis negara domisili.
Latar belakang residence based taxation ini disebabkan asumsi tax treaty akan diadakan antarnegara yang mempunyai tingkat ekspor kapital yang sama. Dalam hal tersebut, kedua negara akan bertindak sebagai negara domisili maupun negara sumber dalam tingkatan yang kurang lebih sama.
Hal ini akan berbeda apabila tax treaty diadakan antara di satu sisi oleh negara kapital ekspor dan di sisi lainnya oleh negara impor kapital (negara berkembang). Dalam konteks tax treaty, negara impor kapital akan lebih banyak bertindak sebagai negara sumber dan sebagai hasilnya akan lebih banyak kehilangan hak pemajakan dibandingkan dengan negara mitra yang merupakan negara ekspor kapital.
Sementara itu, tujuan pencegahan, pengelakan, dan penghindaran pajak sebenarnya hanya tercermin dalam satu pasal, yaitu pasal mengenai pertukaran informasi. Apabila memang betul tujuannya untuk pertukaran informasi, sebenarnya pasal-pasal lain dalam tax treaty kurang dibutuhkan.
Sebagai alternatif tax treaty, negara-negara dapat mempertimbangkan mengadakan Tax Information Exchange Agreement (TIEA). TIEA ini merupakan perjanjian internasional yang khusus ditujukan untuk pertukaran informasi tanpa ada pasal pembagian hak pemajakan selayaknya tax treaty lengkap.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya tujuan yang logis negara berkembang untuk mengadakan tax treaty adalah untuk menarik investasi asing (foreign direct investment/FDI).
Dalam literatur pajak sudah terdapat banyak studi empiris yang mencoba membuktikan ada atau tidaknya korelasi positif antara tax treaty dan jumlah FDI yang masuk ke dalam suatu negara (Barthel, Busse, Krever, Neumayer, 2010).
Namun, belum terdapat konsensus antarpakar pajak tersebut mengenai hal ini. Terlebih terdapat juga isu mengenai praktik treaty shopping yang dapat mengalihkan sumber FDI dari satu negara ke negara lainnya sehingga dapat menghasilkan estimasi yang berlebih.
Sebagai contoh, menurut data BKPM pada periode Januari-Desember 2017, Singapura merupakan negara peringkat pertama yang melakukan FDI ke Indonesia. Bahkan, British Virgin Island dan Mauritius masing-masing menempati urutan kesembilan dan kesepuluh.
Walaupun demikian, tax treaty tetap dapat berfungsi juga sebagai sinyal kepada negara lain bahwa negara yang mengadakan tax treaty telah siap mengikuti norma internasional dan menyambut baik masuknya FDI. Akan tetapi. fungsi sinyal ini sebenarnya juga dapat dilakukan dengan cara lain, yaitu melalui bilateral investment treaty (BIT) yang memang khusus ditujukan untuk FDI.
Pada intinya, terdapat banyak faktor yang dapat memengaruhi FDI. Salah satunya mungkin adalah ada tidaknya suatu tax treaty. Namun, terdapatnya tax treaty atau tidak belum tentu merupakan faktor utama yang memengaruhi FDI. Jauh lebih penting dari itu adalah faktor adanya kepastian hukum.
Sumber : www.news.ddtc.co.id