Jakarta - Pemerintah mengakui kecolongan karena ternyata selama ini Netflix tidak pernah membayar pajak di Indonesia.
Hal itu disampaikan langsung oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama.
"Enggak [bayar pajak], karena memang selama ini mereka [Netflix] belum jadi BUT [Badan Usaha Tetap] di Indonesia. Jadi tidak menjadi wajib pajak di Indonesia," tutur Hestu kepada CNBC Indonesia, Rabu (13/11/2019).
Seperti diketahui Netflix merupakan perusahaan jasa hiburan yang menyediakan berbagai jenis genre film. Bagi yang ingin menonton film-film yang tersedia di sana, masyarakat bisa membayarnya dengan berbagai jenis paket.
Adapun tiga paket yang ditawarkan Netflix untuk para pelanggan di Indonesia. Mereka bebas memilih dengan membayar Rp 109.000/bulan, Rp 139.000/bulan, atau Rp 169.000/bulan.
Mengutip data Statista, Netflix memiliki 481.450 pelanggan di Indonesia pada 2019. Bahkan pelanggannya diperkirakan naik dua kali lipat pada tahun depan menjadi 906.800.
Kendati demikian, pembayaran oleh pelanggan itu mengalir deras ke anak perusahaan Netflix di Belanda, yaitu Netflix International B.V.
Dengan asumsi paling konservatif, di mana 481.450 pelanggan di Indonesia berlangganan paket paling murah, maka Netflix B.V. meraup Rp 52,48 miliar per bulan. Artinya selama setahun Indonesia sudah boncos atau rugi Rp 629,74 miliar, karena selama itu uangnya hanya mengalir ke Negeri Kincir Angin.
Selain tidak membayar pajak di Indonesia, diakui Hestu, Netflix juga tidak pernah menyampaikan laporan transaksi keuangannya. Dalam hal ini, dia pun mengakui negara telah kecolongan.
"Ya memang, istilahnya ini memang masih lolos. Masih lolos perpajakan kita. Tapi masalah ini bukan hanya masalah di Indonesia ya, tapi hampir di semua negara," tuturnya.
Tidak mau lagi ekonomi Indonesia bocor karena Netflix, Kementerian Keuangan pun akhirnya akan mengeluarkan regulasi baru. Dengan membuat satu regulasi khusus perpajakan dalam bentuk Omnibus Law.
Hestu mengatakan, salah satu aturan yang akan berlaku di dalam Omnibus Law perpajakan itu, yakni pemerintah akan meredefinisikan kembali mengenai BUT.
"Jadi pengertiannya gak hanya harus adanya kehadiran fisik, tapi seperti subtansial economic presence. Kalau mereka dapat penghasilan dari Indonesia, konsumennya di Indonesia itu kita anggap sebagai punya economic presence di Indonesia. Nah sehingga kita masukan sebagai BUT. Sehingga bisa kita pajaki di Indonesia," tuturnya.
Sumber : www.cnbcindonesia.com