SIDOARJO, KOMPAS – Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (7/12), menjatuhkan hukuman total dua tahun penjara dan denda Rp 454,441 juta kepada terdakwa Dwi Noertjahyo, warga Surabaya, Jawa Timur. Pengusaha itu terbukti menggelapkan setoran pajak pertambahan nilai selama dua tahun berturut-turut.
Dwi Noertjahyo adalah Direktur PT Kencana Menggala Prasada yang berlokasi di Sidoarjo dan Direktur PT Kencana Menggala Prima yang berlokasi di Gresik. Dua perusahaan itu bergerak di bidang penjualan sepeda motor.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo Zaeni mengatakan, hukuman dan denda dijatuhkan kepada terdakwa atas dua kasus penggelapan pajak yang dilaporkan oleh kantor pajak. Kasus pertama bernomor perkara 269 terkait dengan jabatan terdakwa sebagai Direktur PT Kencana Menggala Prima. Perkara kedua bernomor 270 terkait dengan jabatan sebagai direktur PT Kencana Menggala Prasada.
“Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa terbukti bersalah tidak menyampaikan surat pemberitahuan sebagai pengusaha kena pajak, tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain dan tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut sehingga merugikan negara, “ ujar Zaeni.
Zaeni mengatakan, berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan, terungkap Dwi Noertjahyo sebagai direktur perusahaan telah menjual sepeda motor kepada pembeli dan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sebsar 10 persen. Namun, pajak yang dipungut itu tidak disetorkan ke kantor pajak.
Ahli penghitung pajak menyatakan akibat perbuatan terdakwa, negara dirugikan Rp 2,88 miliar lebih karena tidak menerima setoran pajak dari dua perusahaan selama dua tahun berturut-turut. Terdakwa seharusnya membayar denda sebanyak dua kali kerugian negara, yakni Rp 5,760 miliar.
Zaeni mengatakan, majelis hukum memiliki pendapat berbeda terkait dengan nilai PPN yang harus dibayarkan terdakwa. Nilai pajak yang harus dibayarkan merupakan selisih nilai dari PPN penjualan dikurangi dengan PPN sewaktu terdakwa melakukan pembelian di dealer utama.
Dalam persidangan sebelumnya, jaksa penuntut dari Kejaksaan Tinggi Jatim, Nusrin dan Aditya Narwanto, menuntut terdakwa dengan hukuman penjara dua tahun dan denda Rp 3,097 miliar untuk perkara nomor 270. Jaksa juga menuntut terdakwa dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 2,663 miliar untuk perkara dengan nomor 269. Tuntutan jaksa itu sesuai dengan nilai denda hasil penghitungan dari ahli hitung pajak. Putusan hakim jauh lebih ringan nilai dendanya.
Kendati hukuman yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa, terdakwa menyatakan banding. Tanggapan atas putusan hakim itu disampaikan terdakwa kepada majelis hukum, setelah ia berkonsultasi dengan penasihat hukumnya, Yudi Wibowo.
Yudi mengatakan, banding diajukan karena menurut dia kliennya tidak bersalah. Bahkan terdakwa sejatinya juga korban mafia pajak, yakni oknum pegawai kantor pajak. Terdakwa sudah berupaya membayar pajak, tetapi tidak tahu cara dan nilai yang harus dibayarkan. Terdakwa lalu meminta bantuan oknum pegawai kantor pajak untuk menyelesaikan tunggakan setoran pajak perusahaan dan menyerahkan uang Rp 1250 juta. Karena itu, terdakwa seharusnya dibebaskan dari segala tuduhan.
“Selain itu, menurut kami, majelis hakim tidak berwenang menghitung kerugian negara dari pajak PPN. Menurut kami, yang berhak mengaudit adalah akuntan publik,” ujar Yudi.
SUMBER : KOMPAS (8 Desember 2015)