Summary Webinar ZOOM
MOF – OECD DIALOGUE: YESTERDAY AND TODAY IN INTERNASIONAL TAXATION
By Mr Andrew Auerbach & Prof. Dr. John Hutagaol.
20/01/2021
Latar Belakang
Dunia Perpajakan Internasional mengalami banyak perubahan selama setahun terakhir.
Tidak dapat dipungkiri, Pendemi COVID-19 yang merupakan krisis kesehatan dunia yang telah
berlangsung dari Desember 2019 sampai sekarang memberikan tekanan besar kepada kebijakan
pajak dan administrasi di dunia Perpajakan Internasional. Selain pandemi COVID-19, arah kebijakan
ekonomi Amerika yang terbaru dibawah kepemimpinan Donald Trump (2016) sangat protektionis
sehingga kerap mengganggu stabilitas global. Salah satunya dalam kebijakan pajak adalah
pengesahan Tax cuts and jobs act (TCJA) yang memangkas PPh badan dan mengubah rezim pajak AS
dari worlwide tax system ke territorial tax system. Hal ini yang menyebabkan alasan forum global
yang dikomandoi oleh OECD tak kunjung menyelesaikan konsesus pemajakan global selama
bertahun-tahun. COVID-19 juga telah membuat perubahan mobilitas pekerjaan seseoarang dimana
kerja secara online harus disesuaikan.
Tahun 2020 adalah tahun puncak dari beberapa dekade selama globalisasi dalam
perdagangan dan investasi terjadi di seluruh dunia. Pandemi Covid-19 sebelumnya dianggap sebagai
paku terakhir di peti mati globalisasi dan menandai kemunduran perdagangan global ke era baru
proteksionisme. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, beberapa orang malah menyebut krisis virus
korona itu sebagai akselerator globalisasi yang hebat. Penurunan dalam perdagangan internasional
terjadi dengan cepat dan tajam selama penguncian virus korona pertama. Namun setelahnya,
perdagangan global kembali rebound , dipicu oleh stimulus fiskal dan moneter darurat yang hampir
sama besarnya. Perdagangan global terindikasi akan mengakhiri tahun ini dengan kenaikan yang
kuat. Setelah dua tahun perang tarif AS-China, perdagangan yang dilakukan melalui jaringan
pemasok yang luas - hantu pendukung proteksionisme - bertindak sebagai jalur kehidupan bagi
konsumen dan peredam bagi banyak bisnis. Perusahaan seperti Samsonite International SA hingga
Walgreens Boots Alliance Inc. justru memperkuat sumber pasokan dan produksi mereka di luar
negeri, alih-alih mundur dari pasar global.
Penurunan dalam perdagangan internasional terjadi dengan cepat dan tajam selama
penguncian virus korona pertama. Namun setelahnya, perdagangan global kembali rebound , dipicu
oleh stimulus fiskal dan moneter darurat yang hampir sama besarnya. Perdagangan global
terindikasi akan mengakhiri tahun ini dengan kenaikan yang kuat. Setelah dua tahun perang tarif ASChina,
perdagangan yang dilakukan melalui jaringan pemasok yang luas - hantu pendukung
proteksionisme - bertindak sebagai jalur kehidupan bagi konsumen dan peredam bagi banyak bisnis.
Perusahaan seperti Samsonite International SA hingga Walgreens Boots Alliance Inc. justru
memperkuat sumber pasokan dan produksi mereka di luar negeri, alih-alih mundur dari pasar global.
Prinsip proteksionisme dalam perdagangan internasional akan menyebabkan resesi global
Globalisasi dan Perpajakan
Globalisasi yang terjadi sekarang ini menyebabkan jalinan ekonomi yang mendalam
antar negara, dalam hal tenaga kerja terjadi pertukaran Sumber Daya Manusia antar negara
yang juga mempengaruhi Kebijakan Pajak Internasional. Karena adanya globalisasi yang
mempengaruhi jalinan ekonomi di seluruh dunia dan belum ada kebijakan pajak yang
mengaturnya, maka dibentuklah organisasi pajak internasional yaitu UN model dan OECD.
Globalisasi yang terjadi di dunia bisnis dan mobilitas individu akan menjadi penanda bahwa
itu akan terus menjadi pusat para pebisnis dan dengan adanya hal ini, para pebisnis lebih
mudah untuk memindahkan aset di seluruh dunia, mendirikan perusahaan di negara lain,
membuka akun bank di negara lain, investasi di pasar baru.
Digitalisasi ekonomi ini memberi dampak makro salah satunya pada daya beli
masyarakat yang menurun karena perputaran ekonomi telah beralih ke Ekonomi Digital
seperti belanja online, pembelian produk/jasa digital, dan lain sebagainya. Hal yang patut
diwaspadai bagi semua pihak bahwa kecenderungan masyarakat khususnya generasi
millenial untuk menggunakan gadget dalam membelanjakan uangnya memberikan
tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mengatur regulasi khususnya di sektor
perpajakan. Krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008 membuat negara G20 (negara
ekonomi terbesar di dunia) menyadari perlunya mendukung serangkaian kebijakan untuk
membangkitkan pertumbuhan ekonomi dunia termasuk kerja sama Pajak Internasional.
Krisis yang terjadi memperlihatkan keerapuhan sistem keuangan global dan khususnya
kurangnya transparansi (kerahasiaan bank, kerahasiaan perusahaan).
Setelah kerjasama terjadi diantara negara negara untuk memulihkan kondisi
pertumbuhan ekonomi setelah krisis, pemerintah mulai menyadari di sektor perpajakan
internasional bahwa bekerja sama antar negara adalah melindungi basis data pajak individu
negara masing-masing daripada kehilangan basis data seluruhnya, karena hal ini maka
muncul suatu forum global tentang Transparansi dan Pertukaran Informasi untuk keperluan
pajak. Forum itu kerangka kerja inklusif OECD/G20 tentang BEPS (Base Erotion Profit
Shifting). Contoh sederhana adalah kerahasiaan bank misalnya jika Wajib Pajak Indonesia
memiliki akun bank di Singapore, maka Indonesia berhak untuk mengetahui informasi
tentang akun bank tersebut.
Untuk BEPS, jika perusahaan di Indonesia terlibat dalam penghindaran pajak, maka
ada seperangkat standar dan praktik untuk mencegah hal itu. Digitalisasi yang terjadi di
dunia menghadirkan beberapa hal yang berada di garis terdepan dunia saat ini seperti bisnis
model baru yang menggarisbawahi peraturan Transfer Pricing, BUT. Digitalisasi yang terjadi
memberikan tekanan ke administrasi perpajakan untuk melaksanakan kewajiban pajak
secara online, dan juga Aset CRYPTO menambah kerutan di msalah digitalisasi ini.
2020 – masalah masalah yang dilihat ?
Sebenarnya, tingkat interkonektivitas global antar negara dengan pandemi
sebelumnya yang sudah lebih dulu terjadi sebelum wabah COVID menyebar, adalah wabah
virus SARS yang terjadi pada tahun 2002, dan hal ini sudah diperkirakan sebeumnya oleh
beberapa negara bahwa wabah virus baru akan muncul di tahun-tahun yang akan datang
setelah wabah virus SARS.
Lalu masalah yang lain yaitu di bidang perpajakan, akibat adanya wabah ini maka
semua hal beralih ke digital dan masalah perpajakan digital pasti akan merubah kebijakan
perpajakan dan administrasi perpajakan.
Perusahaan digital sangat diuntungkan di tahun 2020 dan merupakan pemenang
besar di masa pandemi karena semua orang membutuhkan digitalisasi disaat pandemi
berlangsung.
Apa yang diexpektasikan di 2021 dan jauh ke depan ?
Negara-negara di seluruh dunia akan terus berjuang menghadapi pandemi ini;
kebijakan perpajakan internasional akan menjadi tombak penting bagi seluruh Wajib Pajak
di seluruh dunia. Krisis pandemi ini bisa menjadi sebuah peluang untuk menstabilkan
keadaan ekonomi suatu negara, pemerintah bereaksi cepat dengan melakukan pergesaran
basis pajak yaitu dengan volatilitas regulasi dan reformasi pajak.
Konsolidasi fiskal akan dilakukan di tahun ini, tetapi belum bisa dipastikan kapan. Sri
Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia mengatakan bahwa Konsolidasi Fiskal akan
dilakukan secara cermat dan bertahap setelah adanya pandemi COVID-19. Langkah itu dia
lakukan karena sudah sejalan dengan rekomendasi dalam pertemuan negara-negara G20.
Masalah lain adalah mengenai kerjasama internasional antar negara, di tahun ini
kerjasama internasional dan digitalisasi perpajakan akan sangat difokuskan karna dampak
dari pandemi dan juga ketransparanan informasi di forum kerangka kerja inklusif OECD.
Di perpajakan digital, tekanan yang masih muncul adalah menemukan persetujuan
basis data pajak yang sesuai diantara Wajib Pajak dengan Fiskus Pajak. Di pertengahan 2021
akan ada persetujuan politik diantara negara-negara G20, dan jika terjadi persetujuan,
Indonesia bisa menjadi peranan penting sebagai Presiden G20 di 2022 untuk mendorong
implementasi.
Untuk asset crypto, kebijakan dan transparansinya perlu lebih diperjelas dan
digitalisasi administrasi perpajakan – jasa pelayanan, risk assestment, registrasi wajib pajak
Negara berkembang dan perpajakan
Negara negara berkembang akan melakukan pembangunan berkelanjutan 2030 dan itu
tinggal 9 tahun lagi. Bagi negara berkembang krisis pandemi ini bisa dijadikan sebuah peluang untuk
memperoleh basis data perpajakan yang baru sehingga penerimaan negara akan bertambah dan
kebutuhan negara berkembang terpenuhi. Indonesia sebagai Presiden G20 akan menjadi jembatan
penting antara negara maju dan negara berkembang untuk saling bekerja sama atau menemukan
kesepakatan. Secara keseluruhan, pertanyaan timbul seberapa besar negara berkembang telah
memperoleh manfaat dari kemajuan dalam agenda perpajakan.