KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
31 Maret 2010
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 153/PJ.04/2010
TENTANG
PANDUAN PEMERIKSAAN KEWAJARAN TRANSAKSI AFILIASI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan dari beberapa Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengenai penerapan prinsip kewajaran (arm’s length principle) dan kelaziman usaha (ordinary practice of business) yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa dalam pemeriksaan pajak, sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing (Seri TP-1) dan sebagai konsekuensi dari meningkatkanya intensitas pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi, dengan ini disampaikan kepada Saudara panduan mengenai pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yag tidak dipengaruhi hubungan istimewa serta penerapannya dalam kegiatan pemeriksaan pajak (Lampiran 1);
2. Pemilihan pembanding, pemilihan indikator tingkat laba, dan pemilihan metode transfer pricing (Lampiran 2);
3. Prosedur penerapan prinsip kewajaran dalam pemeriksaan pajak (Lampiran 3).
Panduan ini diterbitkan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesesuaian praktek pemeriksaan pajak yang dilakukan para pemeriksa pajak dengan ketentuan mengenai pedoman pemeriksaan yang berlaku;
2. Meningkatkan keseragaman penerapan prinsip kewajaran dalam transaksi afiliasi di seluruh Indonesia, yang penerapannya dilakukan pada saat pemeriksaan pajak;
3. Memberi penegasan atas beberapa ketentuan dalam Pedoman Pemeriksaan dan Petunjuk Penanganan Transfer Pricing yang diterbitkan pada tahun 1993;
4. Meningkatkan kualitas pelaksanaan dan kualitas hasil pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi.
Dengan tercapainya tujuan-tujuan tersebut di atas, diharapkan hasil pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi di masa mendatang dapat berdampak kepada semakin meningkatnya kepatuhan sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, dalam transaksinya dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Contoh-contoh yang diuraikan dalam panduan ini tidak dimaksudkan sebagai hal yang terpisah dari panduan. Saudara dapat meminta asistensi ke Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan apabila Saudara telah melaksanakan langkah-langkah sesuai dengan ketentuan dalam panduan tersebut.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Direktur,
ttd,-
RAMRAM BRAHMANA
NIP. 0600041002
Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak
2. Direktur Intelijen dan Penyidikan
3. Direktur Peraturan Perpajakan I
4. Direktur Peraturan Perpajakan II
5. Para Kepala Kantor Wilayah
Lampiran 1
Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
Nomor : S-153/PJ.4/2010
Tanggal : 31 Maret 2010
PRINSIP KEWAJARAN TRANSAKSI AFILIASI DAN KELAZIMAN
USAHA YANG TIDAK DIPENGARUHI HUBUNGAN ISTIMEWA
A. BEBERAPA ISTILAH
Dalam panduan ini, yang dimaksud dengan:
1. Transfer Pricing adalah penetapan harga dalam transaksi afiliasi.
2. Transaksi afiliasi adalah transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
3. Pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi adalah pemeriksaan yang ditujukan untuk meneliti kewajaran harga dan keberadaan transaksi afiliasi Wajib Pajak.
4. Pemeriksaan kelaziman transaksi afiliasi adalah pemeriksaan yang ditujukan untuk meneliti kelaziman usaha dan keberadaan transaksi afiliasi Wajib Pajak.
5. Hubungan istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 serta ketentuan dalam P3B yang mengatur tentang pihak-pihak yang terasosiasi (associated enterprises). Pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat juga disebut sebagai associated party, relatedparty, controlled party, atau affiliated party.
6. Prinsip kewajaran (arm's length principle) adalah sebuah prinsip yang mengatur bahwa dalam hal kondisi transaksi afiliasi sama dengan kondisi transaksi independen yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi tersebut harus sama dengan harga dan keberadaan transaksi independen yang menjadi pembanding. Dengan demikian, dalam hal kondisi transaksi afiliasi berbeda dengan kondisi transaksi independen yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi, harus berbeda dibanding harga dan keberadaan transaksi independen yang menjadi pembanding, dan nilai beda kondisi transaksi, sama dengan nilai dari beda harga transaksi. Prinsip kewajaran merupakan sebuah prinsip perpajakan yang diatur dalam UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sebagai instrumen untuk mencegah praktek penghindaran pajak.
7. Prinsip kelaziman usaha (ordinary practice of business) adalah sebuah prinsip yang mengatur bahwa hasil dan keberadaan suatu transaksi afiliasi harus sama dengan hasil dan keberadaan transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya dalam kelompok industri Wajib Pajak, jika kondisi transaksi afiliasi sama dengan kondisi rata-rata transaksi independen dalam kelompok industri Wajib Pajak.
Dengan demikian, dalam hal kondisi transaksi afiliasi berbeda dengan kondisi transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya dalam kelompok industri Wajib Pajak yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi, harus berbeda dibanding harga dan keberadaan transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya dalam kelompok industri Wajib Pajak yang menjadi pembanding, dan nilai beda kondisi transaksi, sama dengan nilai dari beda harga transaksi.
Prinsip kelaziman usaha merupakan sebuah prinsip perpajakan yang diatur dalam UU Pajak Penghasilan sebagai instrumen untuk mencegah praktek penghindaran pajak.
8. Sebanding adalah suatu keadaan dimana kondisi transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa tidak memiliki beda yang material terhadap penentuan hasil transaksi, dibandingkan dengan kondisi transaksi antar pihak independen yang akan ditetapkan sebagai pembanding, atau apabila terdapat beda yang material, maka perbedaan tersebut dapat disesuaikan (dieliminasi).
9. Pembanding adalah transaksi independen sebanding yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan kewajaran harga dan keberadaan transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa.
10. Analisis kesebandingan adalah analisis atas kondisi dari transaksi Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dari transaksi antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
11. Analisis fungsi, aset dan resiko (FAR) adalah analisis atas fungsi-fungsi yang dilakukan oleh tiap-tiap entitas yang terlibat dalam suatu transaksi, dengan mempertimbangkan aset yang dimiliki dan digunakan serta risiko yang ditanggung, untuk tujuan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
12. Metode transfer pricing adalah metode penentuan harga transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa (harga transfer) yang berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, yang terdiri dari metode harga pasar sebanding (comparable un-controlled price), metode harga jual minus (resale price), metode harga pokok plus (cost plus), metode laba bersih transaksi (transactional net margin) dan metode pembagian laba (profit split).
13. Indikator tingkat laba (profit level indicator) adalah tingkatan hasil transaksi yang diperbandingkan dalam menerapkan prinsip kewajaran, yang dapat berupa harga, atau laba kotor (grossprofit), atau laba bersih operasi (net operating profit),
B. PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENETAPAN HARGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENETAPAN HARGA DAN KEBERADAAN TRANSAKSI AFILIASI.
1. Prinsip kewajaran diterapkan dengan membandingkan kondisi dan hasil (harga atau laba kotor atau laba bersih operasi) dari suatu transaksi afiliasi dengan kondisi dan hasil dari transaksi independen yang sebanding, kemudian mengaitkan beda kondisi kedua transaksi tersebut dengan beda hasil yang diperoleh. Tujuan akhir dari penerapan prinsip kewajaran adalah pada penetapan harga transaksi afiliasi, meskipun pembandingan hasil transaksi dilakukan pada tingkatan indikator laba selain harga, yaitu laba kotor atau laba bersih operasi. Setelah harga wajar transaksi afiliasi ditetapkan, maka harus diteliti apakah bagian laba kena pajak yang dilaporkan di Indonesia setelah prinsip kewajaran diterapkan adalah bagian laba kena pajak yang realistis secara ekonomis dibandingkan kinerja laba kena pajak usaha sejenis.
2. Prinsip kelaziman diterapkan dengan membandingkan kondisi dan hasil dari suatu transaksi afiliasi dengan kondisi dan hasil dari transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kelompok industri yang sama dengan Wajib Pajak, kemudian mengaitkan beda kondisi transaksi dengan beda hasil antara transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kelompok industri yang sama dengan hasil transaksi afiliasi Wajib Pajak.
3. Pengaruh penerapan prinsip kewajaran terhadap kewajaran harga transaksi afiliasi:
a. Dalam hal kondisi transaksi afiliasi sama dengan kondisi transaksi independen yang menjadi pembanding, maka hasil transaksi afiliasi disebut wajar apabila sama dengan hasil transaksi independen yang menjadi pembanding,
b. Sebaliknya, dalam hal kondisi transaksi afiliasi tidak sama dengan kondisi transaksi independen yang menjadi pembanding, maka hasil transaksi afiliasi disebut wajar apabila tidak sama dengan hasil transaksi independen yang menjadi pembanding, dan nilai dari beda kondisi transaksi sama dengan nilai dari beda hasil transaksi.
Contoh:
a. Pada tahun 2008, PT. Z melakukan penjualan barang “X” kepada PT. Y yang merupakan afiliasi PT. Z, dengan harga franko tujuan Rp 2.000.000,- per unit.
b. Pada tahun yang sama, PT. Z juga melakukan penjualan barang “X” kepada pihak ketiga yang independen, yaitu PT. A dengan harga franko pabrik Rp 2.000.000,- per unit.
c. Harga transaksi penjualan PT. Z kepada PT. Y adalah tidak wajar, karena PT. Z menetapkan harga transaksi afiliasi sama dengan transaksi independen, namun kondisi transaksi afiliasi berbeda dengan kondisi transaksi independen.
d. Harga wajar ditetapkan dengan menghitung harga yang akan ditetapkan PT. Z kepada PT. Y, apabila keduanya tidak terafiliasi, namun kondisinya tidak sama dengan kondisi transaksi independen yang lain, yaitu antara PT. Z dengan PT. A.
e. Dari analisis kesebandingan, diketahui bahwa hanya terdapat satu beda kondisi yang mempengaruhi harga, yaitu syarat penyerahan dan pihak yang menanggung biaya pengangkutan dan asuransi.
f. Diketahui bahwa biaya pengangkutan dan asuransi dari PT. Z ke PT. Y adalah Rp - per unit.
g. Dengan demikian harga jual wajar barang ”X” dari PT. Z kepada PT. Y adalah Rp 2.000.000,- +Rp 100.000,- = Rp 2.100.000,-per unit
h. Setelah penerapan prinsip kewajaran, seharusnya laba kena pajak yang diperoleh dari transaksi afiliasi menjadi realistis secara ekonomis dibandingkan kinerja laba kena pajak usaha sejenis.
4. Formula Berdasarkan pemahaman atas kerangka berpikir penerapan prinsip kewajaran di atas, bahwa idealnya hasil transaksi afiliasi sama dengan hasil transaksi antar pihak yang independen, namun karena dalam praktiknya kondisi transaksi afiliasi tidak selalu sama dengan kondisi transaksi di pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang independen, maka formula penentuan hasil transaksi afiliasi yang sesuai dengan prinsip kewajaran, adalah sebagai berikut :
Harga Wajar Transaksi Afiliasi = Harga Transaksi Independen +/- Nilai Beda Kondisi Transaksi yang Mempengaruhi Harga
|
Dengan memperhatikan formula di atas, dapat disimpulkan bahwa harga sama bukan merupakan petunjuk transaksi afiliasi telah sesuai dengan prinsip kewajaran apabila kondisi kedua transaksi yang diperbandingkan tidak sama.
Dalam hal pembandingan pada tingkat harga transaksi tidak dapat dilakukan, maka pembandingan hasil transaksi dapat dilakukan pada tingkat laba kotor. Selanjutnya apabila pembandingan hasil transaksi pada tingkat laba kotor tidak dapat dilakukan, maka pembandingan hasil transaksi dapat dilakukan pada tingkat laba bersih operasi.
Dengan demikian, apabila penentuan harga transaksi wajar dilakukan melalui penelitian kewajaran laba bersih operasi, maka formulanya adalah sebagai berikut :
Laba Bersih Operasi Wajar = Laba Bersih Operasi Transaksi Independen +/- Nilai Beda Kondisi Transaksi yang Mempengaruhi Laba Bersih Operasi. |
5. Pengaruh penerapan prinsip kewajaran terhadap kewajaran keberadaan transaksi afiliasi Untuk dapat menyimpulkan bahwa keberadaan suatu transaksi afiliasi adalah suatu transaksi yang wajar, maka pemeriksa harus dapat membandingkan keberadaan transaksi tersebut dengan praktek bisnis yang sehat dan umum dilakukan oleh para pelaku usaha lainnya dalam sektor usaha yang sama dengan Wajib Pajak. Pertanyaan yang disampaikan pemeriksa adalah: Apakah dalam sektor usaha Wajib Pajak, merupakan sebuah praktek bisnis yang umum bahwa pelaku usaha lainnya juga melakukan transaksi yang sama dengan pihak independen? Contoh :
a. Sepanjang tahun 2006 - 2008, PT. Z, sebuah perusahaan yang melakukan fungsi pabrikasi, membayar biaya royalti kepada X Corp., pihak yang terafiliasi dengan PT. Z yang berkedudukan di negara “X”, sehubungan dengan pengalihan hak kepada PT. Z untuk menggunakan teknologi yang dimiliki X Corp.
b. Bidang usaha PT. Z termasuk dalam klasifikasi lini usaha yang di Indonesia dikategorikan sebagai KLUI nomor C35606, Plastic Packaging Manufacturing in Indonesia.
c. Untuk dapat disebut sebagai biaya yang wajar keberadaannya, maka PT. Z harus dapat menunjukkan bahwa terdapat pelaku usaha lain dalam sektor usaha yang sama, misalnya PT. Y, perusahaan yang sebanding dengan PT.Z, yang bersedia membayar (willing to pay) biaya royalti kepada pihak independen, untuk teknologi yang sebanding dengan yang digunakan oleh PT.Z, dengan kata lain PT.Z dan PT. Y memiliki struktur biaya yang sama.
d. Dalam hal PT. Z tidak dapat menunjukkan adanya pelaku usaha lain yang memiliki struktur biaya yang sama, maka untuk dapat disebut keberadaan biaya royaltinya adalah wajar, PT. Z harus dapat menunjukkan perbedaan kondisi usahanya yang lebih menguntungkan dibanding pelaku usaha lainnya, sehingga PT. Z menanggung biaya royalti sedangkan pihak lain tidak.
e. Untuk dapat disebut sebagai biaya yang lazim keberadaannya, maka Wajib Pajak harus dapat menunjukkan bahwa para pelaku usaha lainnya dalam KLUI yang sama dengan PT. Z, bersedia membayar biaya royalti untuk teknologi yang sebanding dengan yang digunakan PT.Z (willing to pay) sehingga PT.Z memiliki struktur biaya yang sama dengan industrinya.
f. Sebaliknya apabila PT. Z tidak dapat menunjukkan bahwa pelaku usaha lainnya dalam KLUI yang sama, bersedia membayar biaya royalti untuk teknologi yang sebanding dengan yang digunakan PT.Z (willing to pay) atau PT. Z tidak dapat menunjukkan perbedaan kondisi usahanya yang lebih menguntungkan dibanding dengan pelaku usaha lainnya dalam KLUI yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan biaya royalti pada PT. Z tidak dapat diakui karena merupakan suatu biaya yang tidak lazim.
C. ANALISIS KESEBANDINGAN SERTA ANALISIS FUNGSI, ASET DAN RESIKO
1. Sebelum melakukan pembandingan hasil transaksi dalam penerapan prinsip kewajaran, maka terlebih dahulu harus dilakukan pembandingan kondisi transaksi afiliasi dengan kondisi transaksi independen yang akan dijadikan sebagai pembanding.
2. Untuk dapat disebut telah menerapkan prinsip kewajaran, Wajib Pajak diminta untuk menunjukkan analisis kesebandingan serta analisis fungsi, aset dan resiko (FAR) yang telah dilakukannya. Keberadaan analisis diatas merupakan petunjuk bahwa Wajib Pajak telah melakukan pembandingan kondisi, sebagai bahan untuk menyimpulkan tingkat kesebandingan kondisi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding.
3. Faktor-faktor kesebandingan (comparability factors) adalah faktor-faktor dari kondisi dan syarat-syarat transaksi yang memberi pengaruh terhadap hasil transaksi, yang meliputi : karakteristik barang atau jasa, fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan untuk melakukan fungsi, serta resiko yang ditanggung dari fungsi yang dilakukan dan aset yang digunakan, kesepakatan diantara para pihak yang terlibat dalam transaksi, kondisi ekonomi dan strategi bisnis.
4. Tujuan dari melakukan analisis kesebandingan adalah untuk
(a) mengidentifikasi perbedaan kondisi transaksi dengan kondisi transaksi independen yang menjadi pembanding, yang memberi pengaruh terhadap hasil transaksi dan
(b) menyimpulkan karakter dari kondisi transaksi yang diperbandingkan (characterizing the transaction).
5. Tujuan dari melakukan analisis FAR adalah untuk (a) mengidentifikasi perbedaan substansi usaha para pihak yang terlibat dalam transaksi yang diperbandingkan, baik dalam transaksi afiliasi maupun transaksi independen, yang memberi pengaruh terhadap hasil transaksi dan (b) menyimpulkan karakter dari para pihak yang terlibat dalam transaksi sebagai dasar untuk menyimpulkan substansi usaha para pihak tersebut (characterizing the subject).
6. Penentuan karakter usaha Wajib Pajak harus dilakukan berdasarkan hasil analisis FAR dan bukan hanya berdasarkan status legal dari Wajib Pajak, karena terdapat kemungkinan bahwa status legal (legal form) Wajib Pajak tidak sama dengan substansi usaha (economic substance) Wajib Pajak. Misalnya berdasarkan akte pendirian, dokumen BKPM dan company pofile, PT. ABC disebut sebagai perusahaan pabrikasi, namun apabila dari hasil analisis FAR, diketahui bahwa PT. ABC merupakan perusahaan pabrikasi dengan fungsi terbatas, maka substansi usaha PT. ABC adalah pabrikasi dengan fungsi terbatas atau umum disebut contract manufacturing.
7. Klasifikasi substansi usaha perusahaan yang melakukan fungsi pabrikasi Perusahaan pabrikasi dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu: Manufaktur Fungsi Penuh (Fully Fledged Manufacturing), Manufaktur Fungsi Terbatas (Contract Manufacturing), dan Maklon (Toll Manufacturing), dengan karakter sebagai berikut:
Uraian Karakter
|
Manufaktur Fungsi Penuh (Fully Fledged Manufacturer) |
Manufaktur Fungsi Terbatas (Contract Manufacturer) |
Maklon (Toll Manufacturer) |
Fungsi yang dilaksanakan |
Seluruh fungsi dari R&D sampai dengan penjualan barang jadi |
Terbatas pada pengadaan bahan baku dan proses produksi barang jadi |
Terbatas pada proses produksi |
Pengambilan keputusan strategis |
Seluruhnya |
Minimal |
Tidak Ada |
Kemampuan melakukan kegiatan pabrikasi |
Ada |
Ada |
Ada |
Manajemen persediaan |
Ada |
Ada |
Ada |
Kepemilikan persediaan |
Ada |
Ada |
Tidak ada |
Menanggung risiko persediaan |
Ya |
Minimal |
Tidak |
Menanggung risiko kredit |
Ya |
Minimal |
Tidak |
Menanggung risiko pasar |
Ya |
Minimal |
Tidak |
Contoh berikut merupakan ilustrasi untuk menjelaskan hubungan antara hasil analisis FAR dan penentuan substansi usaha berdasarkan karakter usaha di atas.
a. Status legal
Berdasarkan hasil penelitian terhadap akte pendirian, diketahui bahwa PT. XYZ adalah perusahaan yang didirikan untuk melakukan pabrikasi kemeja pria.
b. Hasil analisis FAR Dari hasil analisis FAR, diperoleh informasi sebagai berikut:
1. Wajib Pajak memiliki keahlian membuat kemeja (manufacturing know how).
2. Wajib Pajak tidak mempunyai Intangible Property karena desain dan merek produk yang akan diproduksi dimiliki oleh pemesan.
3. Wajib Pajak tidak melakukan fungsi pemasaran dan penjualan sehingga tidak menanggung resiko kredit dan resiko pasar.
4. Wajib Pajak tidak mempunyai persediaan bahan baku, karena seluruh bahan baku kemeja dimiliki oleh pemesan, sehingga walaupun Wajib Pajak memiliki pegawai untuk mengelola persediaan bahan baku yang ada, Wajib Pajak tidak menanggung kerusakan yang terjadi atas persediaan bahan baku yang dikelola tersebut, namun Wajib Pajak hanya menanggung resiko persediaan akibat kesalahan proses pabrikasi.
5. Fungsi yang dilakukan hanya menjahit sesuai pola yang diberikan oleh pemesan.
c. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak adalah perusahaan manufaktur dengan fungsi, aset dan resiko yang sangat terbatas, yang sering dikenal sebagai maklon (toll manufacturing). Namun demikian, apabila dari hasil analisis FAR tersebut, ternyata diketahui bahwa khusus untuk nomor (4) di atas, Wajib Pajak menanggung resiko persediaan selain dari kesalahan proses pabrikasi, maka kesimpulan mengenai substansi usaha Wajib Pajak menjadi berubah, bukan hanya sebagai perusahaan maklon tetapi perusahaan maklon dengan FAR lebih atau extra FAR, yaitu menanggung resiko persediaan.
Dengan demikian, karakter Wajib Pajak harus disimpulkan berdasarkan analisis FAR dan bukan hanya berdasarkan pernyataan Wajib Pajak atau dokumen-dokumen legal sebagai penerapan dari kebijakan substance over form rule.
8. Klasifikasi substansi usaha perusahaan yang melakukan fungsi distribusi Perusahaan distribusi dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu: Distributor Fungsi Penuh (Fully Fledged Distributor), Distributor Fungsi Terbatas (Contract Distributor), dan Distributor Resiko Rendah- Komisioner (Commission Agent), dengan karakter sebagai berikut:
Uraian Karakter
|
Distributor Fungsi Penuh (Fully Fledged Distributor) |
Distributor Fungsi Terbatas (Contract Distributor) |
Distributor Resiko Rendah Komisioner (Commission Agent) |
Fungsi yang dilaksanakan |
Seluruh fungsi dari R&D sampai dengan penjualan barang jadi |
Sebagian |
Sedikit |
Pengambilan keputusan strategis |
Seluruhnya |
Sebagian |
Tidak |
Penentuan Strategi Pemasaran |
Ya |
Tidak |
Tidak |
Pelaksanaan Kegiatan Pemasaran |
Ya |
Ya |
Ya |
Penentuan Strategi Penjualan |
Ya |
Ya |
Tidak |
Pelaksanaan Kegiatan Penjualan |
Ya |
Ya |
Ya |
Manajemen Persediaan |
Ada |
Ada |
Tidak |
Kepemilikan Persediaan |
Ada |
Ada |
Tidak |
Menanggung Resiko Persediaan |
Ya |
Minimal |
Tidak |
Menanggung Resiko Kredit |
Ya |
Minimal |
Tidak |
Menanggung Resiko Pasar |
Ya |
Minimal |
Tidak |
Pemanfaatan Harta Tak Berwujud |
Ya |
Minimal |
Tidak |
9. Untuk mencapai tujuan di atas, maka analisis kesebandingan dan analisis FAR harus dilakukan secara menyeluruh, dimulai dari penemuan ide untuk menciptakan produk sampai dengan layanan purna-jual dan diperolehnya uang hasil penjualan.
10. Dalam hal Wajib Pajak telah melakukan analisis kesebandingan, maka Wajib Pajak dapat melampirkan analisis kesebandingan yang telah dilakukannya, sebagai jawaban atas permintaan pemeriksa untuk mengisi Lampiran I dan II Pedoman Pemeriksaan Transfer Pricing tahun 1993.
11. Dalam hal Wajib Pajak tidak memberikan dokumentasi atau catatan mengenai analisis kesebandingan yang telah dibuat atau tidak mengisi Lampiran I dan II pedoman pemeriksaan transfer pricing tahun 1993, maka sebelum menyimpulkan kondisi dan membuat karakterisasi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding, pemeriksa harus melakukan analisis kesebandingan dan mendokumentasikan proses analisis dan hasil analisis kesebandingan. Pemeriksa harus mendokumentasikan surat permintaan dan tanggapan Wajib Pajak atas permintaan analisis kesebandingan yang disampaikan kepada Wajib Pajak.
12. Dalam melakukan analisis kesebandingan, pemeriksa membandingkan kondisi dari transaksi Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan kondisi dari transaksi Wajib Pajak dengan pihak independen atau dengan kondisi dari transaksi antar pihak yang independen.
Kesimpulan mengenai hasil analisis kesebandingan harus didokumentasikan oleh pemeriksa, termasuk kesimpulan mengenai beda kondisi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding.
13. Analisis kesebandingan dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi dan syarat dari transaksi Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sebagai bahan untuk diperbandingkan dengan kondisi dan syarat dari transaksi antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau untuk diperbandingkan dengan kondisi dan syarat transaksi pada sektor usahanya.
Keakuratan dan kehandalan hasil analisis kesebandingan akan mempengaruhi kualitas dan kehandalan pencarian dan penentuan transaksi independen pembanding.
14. Analisis fungsi, aset dan resiko (FAR) dilakukan dengan mengidentifikasi fungsi yang dilakukan para pihak yang terlibat dalam transaksi Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, aset yang digunakan untuk melakukan fungsi dan resiko yang ditanggung, sebagai bahan untuk diperbandingkan dengan fungsi, aset dan resiko para pihak yang terlibat dalam transaksi antar pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau untuk diperbandingkan dengan FAR dari transaksi pada sektor usahanya.
15. Data mengenai FAR dari pihak yang terlibat dalam transaksi, harus merupakan data yang handal (reliable) dan dapat ditunjukkan oleh biaya yang ditanggung oleh tiap- tiap pihak yang terlibat dalam transaksi. Pemeriksa harus meneliti data pendukung FAR, termasuk melakukan verifikasi mengenai kebenaran data pendukung tersebut, untuk menguji keandalan informasi mengenai FAR dari para pihak yang terlibat dalam transaksi Analisis FAR harus dilakukan secara akurat dan menyeluruh karena akan menjadi dasar untuk menentukan bagian imbalan atau hasil transaksi dari para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.
16. Dalam hal ditemukan adanya perbedaan kondisi transaksi yang material yang dapat mempengaruhi penentuan harga transaksi, maka pemeriksa harus melakukan penyesuaian yang realistis secara ekonomis (economically realistic) atas perbedaan tersebut, sehingga harga kedua transaksi tersebut dapat diperbandingkan.
17. Transaksi independen yang dipilih sebagai pembanding dapat merupakan transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang independen (=internal comparable) atau transaksi antar pihak independen, yang didalamnya tidak melibatkan Wajib Pajak (=external comparable). Pencarian calon data pembanding eksternal harus dilakukan berdasarkan kesimpulan mengenai karakter dan substansi usaha transaksi afiliasi yang diteliti.
18. Dalam hal Wajib Pajak tidak mempunyai transaksi dengan pihak yang independen, yang berarti bahwa calon pembanding (candidate comparable) yang akan dipilih adalah pembanding eksternal, maka analisis kesebandingan hanya akan dilakukan pada transaksi afiliasi (one-side analysis) dengan meneliti pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi, sebagai dasar untuk menyimpulkan (a) karakter dan substansi usaha dari para pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi serta (b) menentukan kriteria pencarian (searching criteria) calon (candidate) pembanding eksternal.
D. MASALAH UTAMA YANG HARUS DICAKUP DALAM PEMERIKSAAN KEWAJARAN TRANSAKSI AFILIASI
1. Tipe-tipe Transaksi Seperti transaksi pada umumnya yang dilakukan antar pihak yang independen, suatu transaksi afiliasi juga merupakan salah satu atau kombinasi dari enam tipe transaksi dibawah ini, yaitu :
a. Penjualan barang atau penyerahan jasa atau barang tidak berwujud (intangible property),
b. Pembelian barang atau pemanfaatan barang berwujud,
c. Imbalan jasa,
d. Penggunaan barang tidak berwujud dan imbalan royalti,
e. Pinjaman dan imbalan bunga,
f. Pengalihan harta.
Pemeriksaan atau pengujian kewajaran transaksi afiliasi harus dilakukan secara terpisah untuk tiap-tiap tipe transaksi (secara transaksional). Pemeriksa tidak diperkenankan untuk melakukan pengujian secara agregat atas keseluruhan tipe transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
2. Masalah Utama Yang Secara Umum Harus Diteliti Secara umum, masalah utama (main issues) yang harus diteliti dalam pemeriksaan kewajaran tiap tipe transaksi afiliasi adalah sebagai berikut:
a. Penelitian status hubungan istimewa sebab perhitungan kembali besarnya penghasilan atau pengurangan hanya dapat dilakukan atas transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa.
b. Pemilihan transaksi independen yang menjadi pembanding.
c. Pemilihan pihak yang diteliti/diperiksa dan transaksi yang diuji.
d. Kesebandingan kondisi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding.
e. Pemilihan indikator tingkat laba atau hasil transaksi yang akan diperbandingkan.
f. Pemilihan dan penerapan metode transfer pricing untuk menerapkan prinsip kewajaran.
3. Masalah Utama yang Bersifat Khusus untuk Tipe Transaksi Tertentu
a. Kewajaran Imbalan Jasa Dalam transaksi imbalan jasa, penelitian atas kewajaran penyerahan atau pemanfaatan jasa, meliputi penelitian atas:
1) Keberadaan penyerahan atau pemanfaatan jasa Suatu jasa dikatakan telah diserahkan oleh pihak afiliasi, jika jasa tersebut memberikan manfaat bagi Wajib Pajak. Untuk memastikan bahwa pemanfaatan jasa dari pihak afiliasi memiliki manfaat, maka jasa tersebut juga bukan:
a) merupakan duplikasi dari jasa yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak,
b) ditujukan untuk kepentingan pemegang saham atau pihak lain dalam kelompok usaha Wajib Pajak (shareholder activity),
c) merupakan manfaat yang tidak direncanakan (incidental benefit) oleh Wajib Pajak, dan
d) semata-mata karena Wajib Pajak adalah anggota suatu kelompok usaha (passive association), tapi pembebanan dilakukan karena adanya fungsi yang dilakukan oleh pihak afiliasi tersebut.
2) Kewajaran nilai pembebanan jasa
b. Kewajaran Imbalan Royalti Dalam transaksi penggunaan harta tidak berwujud dan imbalan royalti, penelitian mengenai kewajarannya meliputi penelitian atas:
1) Keberadaan harta tidak berwujud, ditunjukkan dengan adanya:
a) Bukti kepemilikan atas harta tidak berwujud dan,
b) Nilai dari harta tidak berwujud.
2) Keberadaan penyerahan hak untuk menggunakan harta tidak berwujud Suatu harta tidak berwujud dikatakan telah diserahkan hak pemanfaatannya oleh pihak afiliasi, jika harta tidak berwujud tersebut memberikan manfaat bagi Wajib Pajak.
3) Kewajaran nilai imbalan royalti.
c. Kewajaran Imbalan Bunga Dalam transaksi pinjaman dan imbalan bunga, penelitian mengenai kewajarannya, meliputi penelitian atas:
1) Keberadaan pinjaman Suatu pinjaman dikatakan ada, jika terdapat arus uang masuk ke dalam rekening milik Wajib Pajak dan pinjaman tersebut memberikan manfaat bagi Wajib Pajak.
2) Kewajaran nilai pinjaman Rasio nilai pinjaman terhadap modal (debt equity ratio) harus diperhatikan pada saat meneliti kewajaran nilai pinjaman.
3) Kewajaran tingkat suku bunga pinjaman
d. Kewajaran Transaksi Pengalihan Harta Perbedaan utama transaksi pengalihan harta dari tipe transaksi lainnya adalah bahwa transaksi pengalihan harta merupakan transaksi yang tidak rutin. Obyek yang ditransaksikan dapat meliputi aset keuangan maupun non keuangan baik berwujud maupun tidak berwujud. Dalam transaksi pengalihan harta, penelitian mengenai kewajarannya, meliputi penelitian atas:
1) Keberadaan pengalihan harta Suatu pengalihan harta dikatakan ada jika pengalihan harta tersebut memberikan manfaat bagi Wajib Pajak.
2) Kewajaran nilai harta yang dialihkan Penentuan nilai harta yang akan diperbandingkan dengan metode transfer pricing, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan biaya (cost approach), proyeksi pendapatan (projection of income approach) dan harga pasar (market price approach).
Pemeriksaan kewajaran nilai transaksi atas keenam tipe transaksi tersebut di atas harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang diatur pada Lampiran 2.
Lampiran 2
Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
Nomor : S-153/PJ.4/2010
Tanggal : 31 Maret 2010
PEMILIHAN PEMBANDING, PEMILIHAN INDIKATOR TINGKAT LABA, DAN PEMILIHAN METODE TRANSFER PRICING
A. PEMILIHAN PEMBANDING DAN PEMILIHAN INDIKATOR TINGKAT LABA
1. Dalam memilih pembanding, pemeriksa harus memperhatikan semua faktor yang dapat mempengaruhi harga transaksi termasuk karakteristik dari barang dan jasa yang ditransaksikan, fungsi yang dijalankan, aset yang dimiliki dan digunakan, risiko yang ditanggung, ketentuan-ketentuan yang mengikat transaksi, kondisi ekonomi, dan strategi bisnis Wajib Pajak.
2. Pemeriksa wajib terlebih dahulu menguji keberadaan dan keandalan pembanding internal, dan apabila tidak ditemukan adanya pembanding internal yang andal, atau pemeriksa menyimpulkan penggunaan pembanding internal diperkirakan akan menyebabkan hasil penerapan prinsip kewajaran menjadi tidak andal, maka pemeriksa dapat menggunakan pembanding eksternal. Dengan demikian, dalam penerapan prinsip kewajaran, terdapat preferensi dalam pemilihan transaksi independen yang akan ditetapkan sebagai pembanding.
3. Latar-belakang kebijakan preferensi penggunaan pembanding internal adalah (a) keandalan data untuk melakukan analisis kesebandingan, sehingga penentuan beda kondisi lebih andal, karena seluruh rincian data untuk kedua transaksi yang diperbandingkan, ada pada pembukuan Wajib Pajak, sehingga tidak terdapat kendala dalam melakukan verifikasi, termasuk masalah teknis akuntansi karena perbedaan standar akuntansi dan (b) ketersediaan dan keakuratan data untuk melakukan eliminasi atas perbedaan kondisi yang disimpulkan dari hasil analisis kesebandingan.
4. Dalam hal penggunaan pembanding internal menyebabkan hasil penerapan suatu metode transfer pricing menjadi tidak andal, maka pembanding eksternal dapat digunakan meskipun diketahui terdapat pembanding internal.
5. Dalam memilih indikator tingkat laba yang akan diperbandingkan, maka pemeriksa harus memulai dengan membandingkan tingkat harga transaksi. Apabila ternyata terdapat kesulitan dalam pembandingan pada tingkat harga, maka pemeriksa melakukan pembandingan pada tingkat laba kotor. Selanjutnya apabila ternyata terdapat kesulitan dalam pembandingan pada tingkat laba kotor, maka pemeriksa melakukan pembandingan pada tingkat laba bersih operasi. Dengan demikian, terdapat hirarki dalam pemilihan indikator tingkat laba, yang dimulai dari harga, selanjutnya laba kotor dan terakhir laba bersih operasi.
6. Terdapat beberapa pertimbangan yang menjadi latar belakang kebijakan hirarki dalam pemilihan indikator tingkat laba transaksi, diantaranya adalah (a) penerapan prinsip kewajaran lebih langsung diarahkan kepada harga transaksi, sehingga pembahasan dalam pemeriksaan akan lebih ditujukan atau difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi perbedaan kondisi yang menyebabkan perbedaan harga, (b) keandalan dan keakuratan lebih tinggi karena tidak dipengaruhi oleh resiko ketidakandalan atau ketidakakuratan alokasi biaya. Alokasi biaya dalam penerapan metode transfer pricing berbasis harga hanya dapat dilakukan apabila terdapat beda kondisi transaksi yang membutuhkan alokasi biaya atas kondisi transaksi yang berbeda, sebelum dilakukan penyesuaian.
7. Kelebihan dari pemilihan pembanding pada tingkat laba bersih adalah ketersediaan data pembanding pada tingkat laba bersih, khususnya setelah banyaknya pihak yang menyediakan commercial databases, yaitu database yang berisi kumpulan laporan keuangan yang dikompilasi oleh pihak tertentu dan dijual bebas di pasaran.
8. Dalam hal pemeriksa bertindak sebagai pihak yang menerapkan prinsip kewajaran (karena Wajib Pajak tidak dapat membuktikan kewajaran transaksi afiliasinya), maka pemeriksa dianjurkan untuk menggunakan data pembanding yang tersedia untuk umum (public information) dan commercial databases yang dimiliki DJP, sehingga dapat diverifikasi oleh Wajib Pajak.
9. Permintaan commercial databases disampaikan pemeriksa melalui surat kepala unit pelaksana pemeriksaan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, dengan disertai kertas kerja analisis kesebandingan dan analisis FAR serta kesimpulan mengenai karakter atau substansi usaha pihak yang akan diperbandingkan, sebagai penentu kriteria pencari (searching criterio) yang akan digunakan dalam mencari kandidat pembanding dari commercial databases yang dimiliki Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan. Pemeriksa selanjutnya diminta untuk melakukan penelitian mengenai tingkat kesebandingan antara kondisi transaksi afiliasi yang diteliti dengan kondisi kandidat transaksi pembanding yang diperoleh dari pencarian menggunakan commercial database, sebelum menetapkan kandidat pembanding tersebut sebagai pembanding eksternal dalam penerapan prinsip kewajaran.
B. PEMILIHAN METODE DAN PENENTUAN KEWAJARAN HARGA TRANSAKSI ANTAR PIHAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA
1. Terdapat 5 (lima) metode transfer pricing yang dapat dipilih oleh pemeriksa sebagai metode untuk menerapkan prinsip kewajaran dalam transaksi afiliasi yang dilakukan Wajib Pajak, yaitu :
a. Harga Pasar Sebanding (Comparable Uncontrolled Price),
b. Harga Jual Kembali (Resale Price),
c. Harga Pokok Plus (Cost Plus),
d. Pembagian Laba (Profit Split),
e. Laba Bersih Transaksi (Transactional Net Margin Method).
2. Sejalan dengan pemilihan indikator tingkat laba, maka dalam memilih metode transfer pricing, pemeriksa harus memulai dengan metode harga pasar sebanding.
Apabila ternyata terdapat kesulitan dalam menerapkan metode harga pasar sebanding atau apabila penerapan metode ini diperkirakan akan memberikan hasil yang tidak andal, maka pemeriksa dapat memilih metode harga jual minus atau harga pokok plus.
Selanjutnya, apabila ternyata terdapat kesulitan dalam menerapkan harga jual minus atau harga pokok plus atau apabila penerapan metode ini akan memberikan hasil yang tidak andal, maka pemeriksa dapat memilih metode laba bersih transaksi atau metode pembagian laba.
Dengan demikian, terdapat hirarki dalam pemilihan metode transfer pricing, yang dimulai dari metode harga pasar sebanding sampai dengan metode pembagian laba atau metode laba bersih transaksi.
3. Dalam memilih metode transfer pricing, pemeriksa harus mempertimbangkan berbagai hal antara lain:
a. Tingkat kesebandingan antara transaksi yang sedang diperiksa dan transaksi pembanding;
Contoh:
Apabila dari hasil analisis kesebandingan diketahui terdapat terlalu banyak beda kondisi yang dapat menyebabkan suatu hasil dari penerapan metode CUP tidak akurat (accurate) dan dapat diandalkan (realiable), maka sebelum memutuskan untuk beralih dari metode CUP ke metode yang meneliti pilihan indikator tingkat laba (profit level indicator) berikutnya, yaitu laba kotor, perlu melakukan penelitian tahap kedua.
Sebaliknya, apabila dari hasil penelitian pada langkah pertama ini, disimpulkan tidak terlalu banyak beda kondisi yang mempengaruhi harga, maka metode yang harus dipilih adalah CUP.
b. Kelengkapan dan keakuratan data transaksi pembanding; Contoh: Setelah melakukan penelitian pada langkah pertama dan diketahui terdapat beberapa beda kondisi antara transaksi afiliasi dan transaksi independen yang akan menjadi kandidat pembanding, maka penelitian selanjutnya adalah meneliti apakah tersedia data yang lengkap dan akurat untuk melakukan penyesuaian (adjustment) untuk meningkatkan kualitas kesebandingan dari transaksi pembanding.
Dalam hal diketahui bahwa tersedia data pendukung yang lengkap dan akurat untuk melakukan penyesuaian tiap-tiap beda kondisi, maka metode CUP dapat diterapkan.
Sebaliknya, apabila terdapat beberapa beda kondisi yang atas beda tersebut tidak tersedia data yang lengkap dan akurat untuk melakukan penyesuaian, maka sebelum memutuskan untuk beralih dari metode CUP ke metode yang meneliti pilihan indikator tingkat laba (profit level indicator) berikutnya, yaitu laba kotor, perlu melakukan penelitian tahap ketiga
c. Keandalan dari berbagai asumsi yang dibuat;
Contoh:
Apabila dari hasil penelitan pada tahap kedua diketahui terdapat beberapa beda kondisi dimana data untuk melakukan penyesuaian tidak tersedia lengkap dan akurat, selanjutnya pada tahap ini perlu diteliti, apakah untuk tiap-tiap beda kondisi tersebut dapat dibuat asumsi sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian.
Misalnya, salah satu beda kondisi dari hasil analisis kesebandingan, yang mana tidak tersedia data yang lengkap dan akurat untuk melakukan penyesuaian adalah perbedaan pasar tujuan penjualan, yang menurut pemeriksa akan memberi pengaruh yang material terhadap penentuan harga jual. Pertanyaannya adalah, apakah dapat dibuat asumsi untuk melakukan penyesuaian beda kondisi tersebut, misalnya menggunakan data mengenai country investment risk sebagai petunjuk untuk menjelaskan nilai dari beda pasar tujuan.
Dalam hal terdapat asumsi yang akan digunakan oleh Pemeriksa untuk melakukan penyesuaian, maka selanjutnya dilakukan penelitian tahap keempat.
Sebaliknya, apabila tidak terdapat asumsi yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atas suatu beda kondisi, maka penerapan prinsip kewajaran dapat dilakukan dengan metode yang meneliti pilihan indikator tingkat laba berikutnya, misalnya dari CUP ke metode cost plus atau metode resale price.
d. Tingkat keakuratan dari penyesuaian yang dibuat apabila data yang tersedia tidak akurat atau terdapat kesalahan dalam asumsi yang dibuat. Contoh: Sebagai kelanjutan dari penelitian tahap ketiga, maka pada tahap ini dilakukan penelitian, apakah tersedia data untuk menilai asumsi untuk melakukan penyesuaian atas beda kondisi yang telah dibuat pada tahap sebelumnya. Misalnya, sebagai kelanjutan dari contoh pada tahap ketiga, diketahui bahwa ternyata organisasi seperti PBB atau OECD atau Bank Dunia secara periodik menerbitkan data perbandingan country risk seluruh negara di dunia, maka dengan demikian penyesuaian masih dapat dilakukan dan metode CUP masih tetap dapat diterapkan. Sebaliknya, apabila tidak ada data yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memberi nilai dari asumsi yang dibuat, maka penerapan prinsip kewajaran dapat dilakukan dengan metode yang meneliti pilihan indikator tingkat laba berikutnya, misalnya dari CUP ke metode cost plus atau metode resale price.
Setelah keempat langkah di atas dilakukan dan metode CUP tidak dapat diterapkan, maka terdapat pilihan untuk menggunakan metode berbasis laba kotor, dan pemeriksa tidak diperkenankan untuk langsung memilih metode berbasis laba bersih operasi. Pemilihan metode berbasis laba kotor, tetap disesuaikan dengan kondisi transaksi dan kondisi pihak yang melakukan transaksi. Dalam hal pihak yang melakukan transaksi adalah perusahaan pabrikasi, maka metode cost plus adalah the next preferred method, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan resale price method.
4. Hubungan pemilihan metode transfer pricing dengan penentuan pihak yang diperiksa dan pihak yang diteliti.
Ketentuan dalam Bab III KEP-01/PJ.7/1993 memberi petunjuk bahwa penelitian harga atau indikator laba lainnya tidak selalu harus dilakukan terhadap harga dan indikator laba dari pihak yang diperiksa, namun dapat pula dilakukan terhadap harga dan indikator laba dari pihak yang menjadi mitra transaksi afiliasi, dengan demikian penelitian dapat dilakukan terhadap pihak dan transaksi yang diperiksa atau kepada pihak dan transaksi dari mitra transaksi Wajib Pajak.
a. Pihak yang Diperiksa (Audited Party) Pengujian kewajaran harga transaksi afiliasi dilakukan dengan membandingkan dan meneliti kewajaran kondisi dan harga transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang diperiksa, dibandingkan dengan pihak independen.
Contoh dari penerapan metode CUP dalam Bab III Kep-01/PJ.7/1993, menunjukkan bahwa pihak yang diteliti adalah pihak yang diperiksa.
b. Pihak yang Diteliti (Tested Party) Pengujian kewajaran harga transaksi afiliasi dilakukan dengan membandingkan dan meneliti kewajaran kondisi dan harga transaksi yang dilakukan oleh pihak terafiliasi yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak yang diperiksa, yang dibandingkan dengan harga dan kondisi transaksi independen yang sebanding.
Contoh dari penerapan metode cost plus dan resale price dalam Bab III Kep- 01 /PJ.7/1993, menunjukkan bahwa pihak yang diteliti tidak selalu pihak yang diperiksa, karena pihak yang diteliti dapat pula merupakan mitra transaksi afiliasi dari pihak yang diperiksa.
Pilihan untuk meneliti pihak yang diperiksa atau pihak afiliasi yang menjadi mitra transaksi, akan terlihat pada penerapan metode transfer pricing berbasis laba bruto atau laba netto. Dalam hal ini, untuk meningkatkan kualitas dan keandalan pembandingan antara transaksi yang diperiksa dengan transaksi pembanding, maka disarankan bahwa pihak yang diteliti adalah sama dengan pihak diperiksa.
Perbedaan data yang dibutuhkan untuk penerapan kedua pendekatan dan metode di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Metode berbasis biaya (Cost Plus)
- Harga pokok penjualan (HPP) wajar perusahaan pabrikasi yang berasal dari transaksi dengan pihak independen,
- Laba bruto wajar perusahaan pabrikasi.
b. Metode berbasis harga jual (Resale Price)
- Harga jual wajar perusahaan distributor dari transaksi dengan pihak independen,
- Laba bruto wajar perusahaan distributor.
Adanya pilihan pendekatan penetapan harga transfer akan memberi ruang (space) kepada semua pihak, baik pemeriksa maupun Wajib Pajak, untuk tetap mengaplikasikan prinsip kewajaran dalam penetapan harga transfer. Namun demikian, karena hal ini sejatinya dilakukan adalah untuk mengatasi masalah keterbatasan data pembanding yang tersedia, maka kesempatan untuk beralih dari satu metode ke metode lain diatur secara khusus dan karenanya hanya dapat dilakukan apabila terdapat “kesulitan” yang dihadapi dalam menerapkan preferred method yang telah diatur, yang dalam sistem perpajakan Indonesia merupakan ketentuan mengenai hirarki dalam pemilihan metode transfer pricing. Dalam SE-04/PJ.7/1993 disebutkan bahwa peralihan dilakukan apabila terdapat kesulitan dalam menerapkan metode yang lebih langsung.
5. Penentuan kewajaran harga transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa dilakukan dengan menerapkan metode transfer pricing yang dipilih.
6. Meskipun fokus penerapan prinsip kewajaran transaksi afiliasi dan hasil akhir penerapan metode transfer pricing adalah menentukan harga transaksi afiliasi yang wajar, namun pada akhirnya, setelah harga transaksi ditetapkan, pemeriksa harus kembali menelaah keandalan penerapan prinsip kewajaran tersebut, yaitu dengan membandingkan laba bersih transaksi afiliasi setelah penerapan prinsip kewajaran dengan kelaziman tingkat laba bersih dan laba kena pajak sektor usaha yang sama.
Lampiran 3
Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
Nomor : S-153/PJ.4/2010
Tanggal : 31 Maret 2010
PROSEDUR PEMERIKSAAN KEWAJARAN TRANSAKSI AFILIASI
Prosedur pemeriksaan yang harus diperhatikan pemeriksa pada saat melakukan pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi.
A. TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN
1. Sehubungan dengan prinsip self-assessment yang berlaku di Indonesia, maka sebelum bertindak sebagai pihak yang menerapkan prinsip kewajaran dalam transaksi afiliasi Wajib Pajak, pemeriksa diminta untuk terlebih dahulu meneliti prinsip kewajaran yang diterapkan Wajib Pajak, dengan melakukan serangkaian kegiatan dengan urut-urutan sebagai berikut:
a. Mempelajari isi Lampiran Khusus 3A SPT Tahunan PPh Badan untuk tahun pajak sampai dengan 2008 serta Lampiran Khusus 3A, 3A-1, 3A-2 dan 8-A untuk tahun pajak 2009. Selanjutnya pemeriksa harus meminta Wajib Pajak untuk menjelaskan informasi yang diungkapkan dalam Lampiran Khusus SPT terkait transaksi afiliasi;
b. Meminta dokumen lain yang dibuat oleh Wajib Pajak yang mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha;
c. Meneliti penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha oleh Wajib Pajak.
2. Dalam hal Wajib Pajak tidak mengisi Lampiran Khusus 3A, maka pemeriksa harus meneliti informasi dalam laporan keuangan terkait pengungkapan transaksi afiliasi, sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Nomor 7 yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) serta meminta Wajib Pajak untuk membuat analisis kesebandingan dan analisis FAR.
3. Dalam hal Wajib Pajak tidak mengisi Lampiran Khusus SPT terkait transaksi afiliasi, pemeriksa harus mempelajari catatan dalam laporan keuangan terkait penerapan SAK 7 yang diterbitkan Ikatan Akuntan Indonesia dan meminta Wajib Pajak untuk menginformasikan mengenai status hubungan istimewa dan transaksinya dengan pihak afiliasi.
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak mempunyai dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam angka (1) huruf b dan/atau tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka pemeriksa menjadi pihak yang menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
5. Penelitian atau penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, harus diawali dengan penelitian atas status hubungan istimewa dan transaksinya dengan pihak afiliasi.
6. Dalam hal pemeriksa memperoleh keyakinan atau dapat membuktikan adanya hubungan istimewa, maka pemeriksa dapat melanjutkan pemeriksaan dengan:
a. meneliti analisis kesebandingan yang dibuat oleh Wajib Pajak atau membuat analisis kesebandingan;
b. meneliti kesimpulan Wajib Pajak mengenai karakter transaksi serta membuat kesimpulan mengenai karakter transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding, berdasarkan hasil analisis kesebandingan;
c. meneliti analisis FAR yang dibuat oleh Wajib Pajak atau membuat analisis FAR;
d. meneliti kesimpulan Wajib Pajak mengenai karakter dan substansi usaha para pihak yang terlibat dalam transaksi serta membuat kesimpulan mengenai karakter dan substansi usaha para pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding, berdasarkan hasil analisis FAR;
e. meneliti indikator tingkat laba yang dipilih oleh Wajib Pajak atau memilih indikator tingkat laba yang akan diperbandingkan;
f. meneliti metode transfer pricing yang dipilih dan diterapkan oleh Wajib Pajak atau memilih metode transfer pricing untuk diterapkan;
g. meneliti penerapan metode transfer pricing oleh Wajib Pajak atau menerapkan metode transfer pricing yang telah dipilih sebelumnya. Seluruh kegiatan penelitian dan penerapan prinsip kewajaran yang dilakukan oleh pemeriksa harus didokumentasikan, misalnya dalam bentuk Berita Acara Pemberian Keterangan (BAPK). Dalam hal pemeriksa menjadi pihak yang menerapkan prinsip kewajaran (karena Wajib Pajak tidak dapat membuktikan kewajaran transaksi afiliasinya), maka setiap tahapan penerapan prinsip kewajaran harus didokumentasikan dan dokumentasi setiap penerapan prinsip kewajaran harus didukung oleh data pendukung, baik yang disediakan Wajib Pajak maupun yang dicari sendiri oleh pemeriksa.
7. Setiap permintaan data dan informasi kepada Wajib Pajak harus dilakukan secara tertulis dan selanjutnya diverifikasi, sebelum digunakan dalam penerapan prinsip kewajaran. Setiap data yang diperoleh dari Wajib Pajak harus didokumentasikan.
8. Dokumentasi mengenai data dan informasi dari sumber di luar Wajib Pajak, harus disertai dengan keterangan mengenai sumber dan tanggal data serta tanggal perolehan data.
9. Dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak telah diaudit oleh Akuntan Publik dan Akuntan Publik memberi pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) terhadap laporan keuangan Wajib Pajak, Pemeriksa harus meminta keterangan secara tertulis dari Akuntan Publik terkait pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi yang telah dilakukan Akuntan Publik, sebagai pelaksanaan dari ketentuan paragraf 9 huruf (d) Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Nomor 34. Selanjutnya pemeriksa pajak meneliti Kertas Keija Auditor (KKA) terkait kewajaran transaksi afiliasi, atau membuat BAPK dalam hal Akuntan Publik tidak memiliki KKA terkait audit kewajaran transaksi afiliasi, untuk mendokumentasikan penjelasan lisan yang disampaikan oleh Akuntan Publik terkait audit atas transaksi afiliasi yang telah dilakukan oleh Akuntan Publik.
10 Sebelum mengirimkan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak, pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai hasil penelitian terhadap penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha oleh Wajib Pajak atau hasil penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang dilakukannya untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak memberi pendapat atas hasil penerapan prinsip kewajaran yang dilakukan pemeriksa.
11. Dalam hal Wajib Pajak memberi tanggapan dan pemeriksa berpendapat bahwa tanggapan Wajib Pajak dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas dan keandalan hasil penerapan prinsip kewajaran yang telah dilakukan pemeriksa, maka pemeriksa dapat melakukan perbaikan atas hasil penelitian atau hasil penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang dilakukannya, dengan mempertimbang kan data dan informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam surat tanggapannya.
B. PERMINTAAN KETERANGAN DARI OTORITAS PAJAK NEGARA MITRA PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)
1. Dalam hal dibutuhkan data dari otoritas pajak negara lain, maka permintaan keterangan dibuat oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan ditujukan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan serta Kepala Kantor Wilayah atasannya. Prosedur permintaan data akan dilakukan sesuai dengan ketentuan pada P3B.
2. Permintaan keterangan dilakukan dengan memperhatikan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-67/PJ/2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan memperhatikan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-51/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Permintaan Informasi ke Luar Negeri Dalam Rangka Pencegahan Penghindaran dan Pengelakan Pajak.
3. Permintaan keterangan dari otoritas pajak negara lain disarankan untuk dilakukan pada tahap awal dilakukan pemeriksaan, mengingat lamanya jangka waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh jawaban dari otoritas pajak negara lain.
C. PROGRAM PEMERIKSAAN DAN MASALAH UTAMA YANG HARUS DICAKUP DALAM PEMERIKSAAN KEWAJARAN TRANSAKSI AFILIASI
1. Sehubungan dengan keragaman tipe transaksi afiliasi yang mungkin dilakukan oleh Wajib Pajak, maka setiap pelaksanaan pemeriksaan kewajaran transaksi afiliasi, (a) harus diawali dengan program pemeriksaan, yang dibuat setelah pemeriksa melakukan penelitian berkas SPT dan informasi lainnya, serta (b) harus dilaksanakan untuk meneliti masalah-masalah utama (main issues) terkait kewajaran tiap-tiap tipe transaksi afiliasi.
2. Program pemeriksaan harus dibuat oleh ketua kelompok bersama tim pemeriksa dan diinformasikan secara lisan kepada Wajib Pajak.
3. Data dan informasi yang akan diminta dari Wajib Pajak, yang dibutuhkan untuk melaksanakan program pemeriksaan, harus disampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
D. KERTAS KERJA PEMERIKSAAN
1. Pemeriksa wajib menuangkan seluruh proses dan hasil penelitian atau penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha ke dalam kertas kerja pemeriksaan, termasuk mendokumentasikan keterangan dan proses pemberian keterangan lisan dari Wajib Pajak, sehingga kewajiban mendokumentasikan proses dan hasil penelitian akan meliputi seluruh proses dan hasil perolehan atau permintaan keterangan, data dan informasi dari Wajib Pajak dan sumber lainnya.
2. Kertas kerja pemeriksaan sekurang-kurangnya memuat informasi tentang hal-hal berikut:
a. hasil penelitian atas analisis kesebandingan yang dibuat oleh Wajib Pajak atau analisis kesebandingan yang dibuat pemeriksa;
b. kesimpulan mengenai karakter transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding;
c. hasil penelitian atas analisis FAR yang dibuat oleh Wajib Pajak atau analisis FAR yang dibuat pemeriksa;
d. kesimpulan mengenai karakter dan substansi usaha para pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi dan transaksi independen yang menjadi pembanding;
e. hasil penelitian atas indikator tingkat laba yang dipilih oleh Wajib Pajak atau pemilihan indikator tingkat laba oleh pemeriksa;
f. hasil penelitian atas metode transfer pricing yang dipilih dan diterapkan oleh Wajib Pajak atau pemilihan metode transfer pricing oleh pemeriksa;
g. hasil penelitian atas penerapan metode transfer pricing oleh Wajib Pajak atau penerapan metode transfer pricing oleh pemeriksa