SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 32/PJ/2014
TENTANG
PENEGASAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
A. Umum
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terkait pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013 (PP 46 Tahun 2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu ditetapkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu.
B Maksud dan Tujuan
1. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.
2. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan dengan
baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000.00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
D. Dasar
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
E. Materi
1. Penghasilan yang dikenai PP 46 Tahun 2013.
a. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dijelaskan bahwa aliran penghasilan bagi Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
2) penghasilan dari usaha dan kegiatan,
3) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau
hak yang tidak dipergunakan untuk usaha;dan
4) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
b. Dengan demikian penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46
Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha,
kecuali:
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan
bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
3) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang barsifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
2. Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan.
a. Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46
Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan
operasi secara komersial untuk pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat
diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang
dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.
b. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yarg bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha
dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.
c. Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada
huruf b dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial.
d. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial sebagaimana
dimaksud pada huruf c melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial,
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah
Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.
e. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi
Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk Tahun Pajak selanjutnya,
ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.
f. Contoh:
1) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi
secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan
Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial
1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan sampai dengan
31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak
2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
2) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru
beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2013 (jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial
1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013). Untuk pengenaan Pajak
Penghasilan pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto
Tahun Pajak 2013.
3) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersiai pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru
beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara
komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan
sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada
Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
4) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru
beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara
komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai
dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun
Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
3. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.
a. Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut
bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m
Undang-Undang Pajak Penghasilan
b. Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana dimaksud
pada huruf a tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak
yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
c. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan
mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak reksa dana.
a. Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana
dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh
manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal.
b. Berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka aliran penghasilan
yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang
berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana
memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sesuai PP 46 Tahun 2013 beserta ketentuan
pelaksanaannya.
5. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan
pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman.
a. Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga
pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu
persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank
perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah
jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
1) pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan
pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
2) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain,
serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
c. Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga
pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
6. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak
OPPT).
a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak
melebihi Rp4 800.000.000.00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen)
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.
b. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000.00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran pajaknya mengacu pada
ketentuan Pasat 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.
7. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
a. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi
sebagai PPAT :
1) mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat
umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta
yang berkaitan dengan dengan pertanahan; dan
2) dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan pekerjaan bebas.
b. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada
ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
8. Penegasan kembali ketentuan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan PP 46 Tahun 2013
a. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kas negara melalui:
1) kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
2) Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu Wajib Pajak menerima Bukti
Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN) dalam bentuk catakan struk ATM yang kedudukannya disamakan
dengan SSP;
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada huruf a wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf b diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014,
sehingga stas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa
Juli-Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp.100.000.00 (seratus ribu rupiah).
d. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan lelah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah
menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau cetakan
struk ATM.
e. Wajib Pajak dengan Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib
melaporkan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada
huruf b.
F. Penutup
Agar pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013
sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dapat berjalan dengan baik,
dengan ini para:
1. Kepala Kantor Wilayah diminta untuk melakukan pengawasan dan sosialisasi Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan diminta untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan PP 46 Tahun 2013
yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Paiak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan