PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 193/PMK.03/2015
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS TIDAK DIPUNGUT
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR DAN/ATAU
PENYERAHAN ALAT ANGKUTAN TERTENTU DAN
PENYERAHAN JASA KENA PAJAK TERKAIT
ALAT ANGKUTAN TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015 tentang
Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu
yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara
Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan
Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu;
Mengingat :
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2015 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan
Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 211 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5739);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS TIDAK DIPUNGUT PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN ALAT ANGKUTAN TERTENTU DAN PENYERAHAN
JASA KENA PAJAK TERKAIT ALAT ANGKUTAN TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Surat Keterangan Tidak Dipungut yang selanjutnya disebut SKTD adalah surat keterangan yang
menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur
Jenderal Pajak.
3. Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha
jasa angkutan laut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia atau kapal asing atas dasar sewa
untuk jangka waktu atau perjalanan tertentu ataupun berdasarkan perjanjian dan telah memiliki surat
izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
4. Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia
yang menyelenggarakan kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, yang menggunakan kapal untuk kegiatan memuat dan
mengangkut serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
5. Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional adalah badan hukum Indonesia yang
menyelenggarakan Jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan meliputi jasa tunda, jasa
pandu, jasa tambat, dan jasa labuh serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
6. Perusahaan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau
badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa pelayaran angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan telah memiliki surat izin usaha
dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
7. Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan
usaha angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran dan telah memiliki surat izin usaha
dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
8. Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang
mengusahakan sarana perkeretaapian umum berupa kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel dan
telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perhubungan.
9. Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang
menyelenggarakan prasarana perkeretaapian berupa jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
10. Rencana Kebutuhan Impor dan Perolehan yang selanjutnya disebut RKIP adalah daftar alat angkutan
tertentu yang dibutuhkan dalam rangka impor dan/atau daftar alat angkutan tertentu dan Jasa Kena
Pajak terkait alat angkutan tertentu dalam rangka menerima penyerahan yang digunakan dalam rangka
mendapatkan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku sampai dengan tanggal
31 Desember tahun berkenaan.
Pasal 2
Alat angkutan tertentu yang atas impornya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai meliputi:
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku
cadangnya yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
b. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku
cadangnya yang diimpor oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan impor tersebut;
c. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal
penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
d. suku cadang kapal laut, suku cadang kapal angkutan sungai, suku cadang kapal angkutan danau dan
kapal angkutan penyeberangan, suku cadang kapal penangkap ikan, suku cadang kapal pandu, suku
cadang kapal tunda, dan suku cadang kapal tongkang serta alat keselamatan pelayaran dan alat
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional,
Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional, dan
Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan
kegiatan usahanya;
e. pesawat udara yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
f. suku cadang pesawat udara serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia,
peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional;
g. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara yang
diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam
rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara
Niaga Nasional;
h. kereta api yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum
dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum;
i. suku cadang kereta api serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana
perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
j. komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang
digunakan untuk pembuatan :
1. kereta api;
2. suku cadang;
3. peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan; serta
4. prasarana perkeretaapian,
yang akan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan
Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Pasal 3
Alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai meliputi :
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku
cadangnya yang diserahkan kepada Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal
penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang yang diserahkan kepada dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
c. suku cadang kapal laut, suku cadang kapal angkutan sungai, suku cadang kapal angkutan danau dan
kapal angkutan penyeberangan, suku cadang kapal penangkap ikan, suku cadang kapal pandu, suku
cadang kapal tunda, dan suku cadang kapal tongkang serta alat keselamatan pelayaran dan alat
keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga
Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan
Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional,
sesuai dengan kegiatan usahanya;
d. pesawat udara yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional;
e. suku cadang pesawat udara serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia,
peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan
Angkutan Udara Niaga Nasional;
f. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara yang
diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan
dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional;
g. kereta api yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum;
h. suku cadang kereta api serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana yang
diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum
dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
i. komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum,
yang digunakan untuk pembuatan:
1. kereta api;
2. suku cadang;
3. peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan; serta
4. prasarana,
yang akan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan
Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Pasal 4
Rincian alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g,
huruf h, dan huruf i, serta Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan
Nilai meliputi:
a. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional yang meliputi:
1. jasa persewaan kapal;
2. jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh; dan
3. jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;
b. jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
1. jasa persewaan pesawat udara; dan
2. jasa perawatan dan reparasi pesawat udara; dan
c. jasa perawatan dan reparasi kereta api yang diterima oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian Umum.
Pasal 6
(1) Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a harus memiliki
SKTD untuk setiap kali impor.
(2) Wajib Pajak yang melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b dan huruf j harus memiliki SKTD untuk setiap kali impor.
(3) Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
menerima penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a harus
memiliki SKTD untuk setiap kali penyerahan.
(4) Wajib Pajak yang menerima penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf i harus memiliki SKTD untuk setiap kali penyerahan.
(5) Wajib Pajak yang :
a. melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i;
b. menerima penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h; dan
c. menerima penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
harus memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan 31 Desember tahun berkenaan.
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
Wajib Pajak, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia harus mengajukan permohonan SKTD kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak, bendahara pada Kementerian Pertahanan, bendahara pada
Tentara Nasional Indonesia, atau bendahara pada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdaftar
dengan melampirkan rincian alat angkutan tertentu yang akan diimpor atau diperoleh.
(2) Untuk memperoleh SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), Wajib Pajak harus mengajukan
permohonan SKTD kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar dengan melampirkan RKIP.
(3) Atas permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan
Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKTD paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah permohonan SKTD diterima lengkap.
(4) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan atas rincian alat angkutan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disetujui untuk diberikan
fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai baik sebagian atau seluruhnya oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.
(5) Tata cara penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
(1) Terhadap RKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (5) dapat mengajukan RKIP perubahan, dalam hal terdapat:
a. perubahan jenis barang;
b. perubahan jumlah barang;
c. perubahan pelabuhan dalam hal impor; dan/atau
d. perubahan Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan alat angkutan tertentu dan/atau Jasa
Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu dalam hal penyerahan.
(2) Pengajuan RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alasan tertulis
diajukannya perubahan.
(3) Terhadap alat angkutan tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang diajukan
RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilakukan impor dan/atau penyerahan.
(4) Tata cara pengajuan RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 9
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan:
a. penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan/atau
b. penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5,
wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan cap atau keterangan "PPN TIDAK
DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015".
Pasal 10
(1) Atas impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, SKTD diserahkan kepada
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan dilampiri Pemberitahuan Impor Barang serta dokumen
impor lainnya.
(2) Pemberitahuan Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan:
a. cap atau keterangan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015"; dan
b. nomor dan tanggal SKTD,
pada setiap lembar Pemberitahuan Impor Barang pada saat penyelesaian dokumen impor oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 11
(1) Wajib Pajak yang mengajukan SKTD yang dilampiri RKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
wajib menyampaikan laporan realisasi RKIP.
(2) Laporan realisasi RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat setiap triwulan dan
disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar paling lambat akhir bulan berikutnya.
(3) Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan realisasi RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan kepada Wajib Pajak telah dilakukan himbauan atas kewajiban pelaporan realisasi RKIP;
atau
b. terdapat ketidaksesuaian jenis dan kuantitas alat angkutan tertentu dan Jasa Kena Pajak
terkait alat angkutan tertentu dalam laporan realisasi RKIP dengan RKIP atau RKIP perubahan,
SKTD dapat dicabut dengan menerbitkan surat keterangan pencabutan SKTD yang berlaku sejak
tanggal pencabutan SKTD.
(4) Atas ketidaksesuaian jenis dan kuantitas alat angkutan tertentu dan Jasa Kena Pajak terkait alat
angkutan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Pajak Pertambahan Nilai yang tidak
dipungut harus dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
(5) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikreditkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(6) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) setelah membayar Pajak Pertambahan Nilai yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
(7) Format laporan realisasi RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format surat keterangan
pencabutan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 12
(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan SKTD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dalam hal:
a. terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dalam penerbitannya; atau
b. diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak, Kementerian
Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak
berhak memperoleh SKTD.
(2) Dalam hal terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dalam penerbitan SKTD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, Wajib Pajak, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia,
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengajukan permohonan pembatalan SKTD untuk
penerbitan SKTD baru kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak penerbit
SKTD.
(3) Permohonan pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan alasan
tertulis dilakukannya pembatalan dengan dilampiri SKTD asli yang terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung.
(4) Atas permohonan pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan
Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD dan
menerbitkan SKTD baru paling lama 2 (dua) hari kerja setelah permohonan pembatalan diterima
lengkap.
(5) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak, Kementerian
Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak berhak
memperoleh SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas
nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD.
(6) Atas pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak, Kementerian Pertahanan,
Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib membayar Pajak
Pertambahan Nilai yang tidak dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikreditkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(8) Format surat keterangan pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 13
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. ketentuan mengenai pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Barang Kena Pajak
tertentu berupa alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, dan alat angkutan di udara, serta suku
cadangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 huruf a;
b. ketentuan Pasal 1 angka 1 huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h;
c. ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c;
d. ketentuan Pasal 1 angka 3, angka 4, angka 6, angka 7, dan angka 8; dan
e. ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9,
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai
yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa
Kena Pajak Tertentu dan peraturan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 14
(1) Terhadap Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang telah diterbitkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
beserta perubahannya terkait dengan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3, dapat digunakan untuk impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu sampai dengan
tanggal 31 Oktober 2015.
(2) Sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimaknai sebagai SKTD.
Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak
tanggal 17 Oktober 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Oktober 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Oktober 2015
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1538