PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35/PMK.03/2019
TENTANG
PENENTUAN BENTUK USAHA TETAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa seiring dengan meningkatnya perkembangan model usaha lintas negara yang melibatkan subjek pajak luar negeri, perlu memberikan kepastian hukum bagi subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya di Indonesia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENENTUAN BENTUK USAHA TETAP.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Orang Pribadi Asing adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan.
2. Badan Asing adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, yang selanjutnya disingkat P3B, adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
Pasal 2
(1) Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dimulai pada saat Orang Pribadi Asing atau Badan Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3) Pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah saat mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(4) Dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
(5) Tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dilaksanakan sesuai dengan peraturan menteri keuangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 3
(1) Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap sebagai Pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek pajak sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi batasan pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Tata cara pengukuhan dilaksanakan sesuai dengan peraturan menteri keuangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 4
(1) Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia;
b. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen; dan
c. tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau
Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
(2) Bentuk usaha sebagai berikut merupakan bentuk usaha tetap meskipun tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
b. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
c. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan
d. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(3) Pengertian usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala hal yang
dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan.
Pasal 5
(1) Tempat usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a mencakup segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan
l. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.
(2) Adanya tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan tanpa memperhatikan apakah Orang Pribadi Asing atau Badan Asing memiliki atau menyewa atau apakah Orang Pribadi Asing atau Badan Asing berhak secara hukum menggunakan tempat usaha tersebut.
(3) Tempat usaha bersifat permanen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b sepanjang
tempat usaha tersebut:
a. digunakan secara kontinu; dan
b. berada di lokasi geografis tertentu.
(4) Tempat usaha digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c sepanjang:
a. tempat usaha tersebut tersedia untuk digunakan sehingga Orang Pribadi Asing atau Badan Asing
memiliki akses yang tidak terbatas untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan; dan
b. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui tempat usaha tersebut.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tidak terpenuhi dalam hal:
a. tempat usaha di Indonesia hanya digunakan untuk penyimpanan data dan/atau pengelolaan data secara elektronik oleh Orang pribadi Asing atau Badan Asing; dan
b. Orang Pribadi Asing atau Badan Asing memiliki akses yang terbatas untuk mengoperasikan tempat usaha tersebut.
Pasal 6
(1) Untuk penerapan P3B, bentuk usaha yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tetapi hanya melakukan kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary) dikecualikan dari pengertian bentuk usaha tetap.
(2) Kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pendahuluan agar kegiatan yang esensial dan signifikan siap untuk dilakukan.
(3) Kegiatan yang bersifat penunjang (auxiliary) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan
tambahan yang memperlancar kegiatan yang esensial dan signifikan.
(4) Kegiatan yang esensial dan signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mencakup kegiatan yang:
a. merupakan usaha atau kegiatan inti Orang Pribadi Asing atau Badan Asing;
b. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha atau kegiatan inti Orang Pribadi Asing atau Badan Asing;
c. secara langsung menimbulkan penghasilan untuk Orang Pribadi Asing atau Badan Asing; atau d. menggunakan harta atau sumber daya manusia dalam jumlah yang signifikan.
(5) Dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing melakukan kegiatan yang bersifat persiapan
(preparatory) atau penunjang (auxiliary) untuk pihak lain, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak berlaku.
Pasal 7
(1) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a adalah proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan yang merupakan usaha atau kegiatan
Orang Pribadi Asing atau Badan Asing di Indonesia.
(2) Proyek konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. jasa konsultansi konstruksi, yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, manajemen penyelenggaraan konstruksi, survei, pengujian teknis, atau analisis;
b. pekerjaan konstruksi, yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan,
pembongkaran, atau pembangunan kembali; dan
c. pekerjaan konstruksi terintegrasi, yang meliputi model rancang bangun atau model perekayasaan, pengadaan, dan pelaksanaan.
(3) Instalasi atau proyek perakitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. instalasi atau proyek perakitan yang terkait dengan pengerjaan proyek konstruksi; dan b. instalasi atau proyek perakitan mesin atau peralatan.
(4) Untuk penerapan P3B, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bentuk usaha tetap sepanjang dikerjakan melebihi periode waktu dalam P3B.
(5) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4)
juga meliputi proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan di Indonesia yang:
a. pengerjaannya dilakukan di luar Indonesia; dan/atau
b. pengerjaannya diteruskan kepada subkontraktor dalam negeri maupun luar negeri.
(6) Dalam penentuan periode waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. periode waktu dihitung sejak saat proyek mulai dikerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan
Asing;
b. periode waktu berakhir saat:
1) Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menyelesaikan pekerjaan dan menyerahkan
hasil pekerjaan kepada penerima jasa konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; atau
2) Orang Pribadi Asing atau Badan Asing menghentikan pekerjaan sebelum pekerjaan selesai;
c. penghentian pengerjaan proyek untuk sementara tidak menunda penghitungan periode waktu;
d. bagian dari hari dihitung penuh 1 (satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari;
e. bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan bulan; dan
f. waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 8
(1) Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b merupakan bentuk usaha tetap sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing atau subkontraktor dari Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut;
b. pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan
c. pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.
(2) Untuk penerapan P3B, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain yang dipekerjakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing merupakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b sepanjang dilakukan melebihi periode waktu dalam P3B di Indonesia.
(3) Penghitungan periode waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. periode waktu dimulai saat pemberian jasa mulai dilakukan;
b. periode waktu berakhir saat pemberian jasa selesai dilakukan;
c. bagian dari hari dihitung penuh 1 (satu) hari, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari;
d. bagian dari bulan kalender dihitung penuh 1 (satu) bulan, dalam hal periode waktu dihitung berdasarkan hari; dan
e. waktu pengerjaan oleh subkontraktor diperhitungkan ke dalam periode waktu, dalam hal Orang
Pribadi Asing atau Badan Asing meneruskan pekerjaan kepada subkontraktor.
Pasal 9
(1) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c merupakan bentuk usaha tetap sepanjang orang pribadi atau badan bertindak untuk dan atas nama Orang Pribadi Asing atau Badan Asing.
(2) Orang pribadi atau badan bertindak untuk dan atas nama Orang Pribadi Asing atau Badan Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang orang pribadi atau badan tersebut:
a. menerima instruksi untuk kepentingan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing dalam menjalankan
usaha atau melakukan kegiatannya; atau
b. tidak menanggung sendiri risiko usaha atau kegiatannya.
(3) Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tersebut dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen, broker atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
(4) Untuk penerapan P3B, dalam hal agen yang berkedudukan tidak bebas hanya melakukan kegiatan yang bersifat persiapan (preparatory) atau penunjang (auxiliary) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) maka agen yang berkedudukan tidak bebas tersebut bukan merupakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c.
Pasal 10
(1) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d merupakan bentuk usaha tetap sepanjang:
a. menerima premi asuransi di Indonesia; atau
b. menanggung risiko di Indonesia dimana pihak tertanggung bertempat tinggal, bertempat kedudukan, atau berada di Indonesia.
(2) Untuk penerapan P3B, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk reasuransi.
Pasal 11
(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dalam hal bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap bentuk
usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan.
(3) Tata cara penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilaksanakan sesuai dengan peraturan menteri keuangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pasal 12
(1) Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dilakukan dalam hal Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap tidak lagi memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan permohonan Pengusaha Kena Pajak atau secara jabatan.
(3) Tata cara pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilaksanakan sesuai dengan peraturan menteri keuangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 13
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 358