BAB I
KETENTUAN UMUM
PASAL 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengampunan Nasional adalah penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, penghapusan sanksi pidana dibidang perpajakan, serta sanksi pidana tertentu dengan membayar uang tebusan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
2. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Nilai Harta adalah nilai pasar wajar atas Harta dalam bentuk mata uang rupiah atau mata uang asing yang ditranslasikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs pada tanggal 31 Desember 2014 yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.
4. Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan untuk mendapat Pengampunan Nasional.
5. Surat Permohonan Pengampunan Nasional adalah surat yang digunakan oleh Orang Pribadi atau Badan untuk melaporkan Harta, Nilai Harta, perhitungan dan pembayaran Uang Tebusan berdasarkan undang-undang ini.
6. Manajemen data dan informasi adalah sistem administrasi data dan informasi Orang Pribadi atau Badan terkait Pengampunan Nasional yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dan instansi terkait lainnya.
7. Orang Pribadi adalah orang perseorangan yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
8. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.
9. Surat Keputusan Pengampunan Nasional adalah surat yang diterbitkan oleh Satuan Tugas Pengampunan Nasional atas nama Presiden sebagai bukti pemberian Pengampunan Nasional.
10. Satuan Tugas Pengampunan Nasional adalah lembaga yang dibentuk oleh Presiden Republik Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia untuk menyelenggarakan program Pengampunan Nasional.
11. Tunggakan Pajak adalah jumlah pajak yang belum dilunasi termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
BAB II
SUBJEK DAN OBJEK PENGAMPUNAN NASIONAL
PASAL 2
Setiap Orang Pribadi atau Badan berhak mengajukan permohonan Pengampunan Nasional dengan menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional, kecuali Orang Pribadi atau Badan yang sedang dalam proses penuntutan, atau sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
PASAL 3
(1) Pengampunan Nasional diberikan atas seluruh Harta yang dilaporkan dalam Surat Permohonan Pengampunan Nasional, baik yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah harta yang diperoleh sebelum berlakunya Undang-Undang ini.
BAB III
TARIF DAN CARA MENGHITUNG UANG TEBUSAN
PASAL 4
(1) Tarif Uang Tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasional bulan Oktober 2015 sampai dengan Desember 2015 adalah sebesar 3 %.
(2) Tarif Uang Tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasional bulan Januari 2016 sampai dengan Juni 2016 adalah sebesar 5 %.
(3) Tarif Uang Tebusan untuk periode pelaporan Surat Permohonan Pengampunan Nasional bulan Juli 2016 sampai dengan Desember 2016 adalah sebesar 8 %.
PASAL 5
Dasar Pengenaan Uang Tebusan adalah Nilai Harta yang dilaporkan.
PASAL 6
Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan Dasar Pengenaan Uang Tebusan.
BAB IV
TATA CARA PEMBERIAN PENGAMPUNAN
PASAL 7
(1) Syarat untuk mengajukan Pengampunan Nasional meliputi:
a. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional yang ditandatangani oleh Orang Pribadi atau Badan;
c. membayar Uang Tebusan;
d. melunasi seluruh Tunggakan Pajak; dan
e. memberikan Surat kuasa kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuka akses atas seluruh rekening Orang Pribadi atau Badan yang berada di bank dalam negeri dan bank luar negeri untuk transaksi setelah memperoleh Pengampunan Nasional.
(2) Surat Permohonan Pengampunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat Identitas Orang Pribadi atau Badan, Harta, Nilai Harta, dan Perhitungan Uang Tebusan serta dilampiri dengan:
a. Bukti pelunasan Tunggakan Pajak;
b. bukti pembayaran Uang Tebusan;
c. daftar Harta, daftar harga pasar dan harga perolehan dari harta yang dilaporkan;
d. bukti pendukung daftar Harta yang dilaporkan.
e. Surat kuasa kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuka akses atas seluruh rekening Orang Pribadi atau Badan yang berada di bank dalam negeri dan bank luar negeri;
f. Surat Pencabutan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, keberatan, banding, gugatan, Peninjauan Kembali, yang belum mendapat keputusan atau putusan.
g. Surat Pernyataan bahwa seluruh hartanya baik yang berada di dalam maupun di luar negeri telah dilaporkan berdasarkan nilai pasar wajar;
(3) Surat Permohonan Pengampunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara langsung, pos tercatat, atau jasa pengiriman kepada Kantor Satuan Tugas Pengampunan Nasional.
(4) Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibayar lunas dengan menggunakan Surat Setoran Pengampunan Nasional ke kas Negara sebelum Surat Permohonan Pengampunan Nasional disampaikan.
(5) Surat Setoran Pengampunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan surat setoran pajak yang berfungsi sebagai bukti pembayaran Uang Tebusan apabila telah disahkan oleh Pejabat Kantor Penerima Pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi sesuai ketentuan yang berlaku.
(6) Orang Pribadi atau Badan yang telah menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan tanda penerimaan Surat Pemberitahuan Pengampunan Nasional.
PASAL 8
(1) Satuan Tugas Pengampunan Nasional melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran Surat Permohonan Pengampunan Nasional beserta lampirannya.
(2) Verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas:
a. Kelengkapan lampiran Surat Permohonan Pengampunan Nasional;
b. Kesesuaian antara Harta yang dilaporkan dengan bukti pendukung; dan
c. Kebenaran pembayaran dan pengisian Surat Permohonan Pengampunan Nasional meliputi: kebenaran pelunasan Tunggakan Pajak, kebenaran perhitungan Uang Tebusan, kebenaran pembayaran Uang Tebusan, dan kebenaran identitas Orang Pribadi atau Badan.
(3) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Satuan Tugas Pengampunan Nasional atas nama Presiden menerbitkan:
a. Surat Keputusan Pengampunan Nasional apabila Surat Permohonan Pengampunan Nasional telah diisi dengan lengkap dan benar; atau
b. Penerbitan surat klarifikasi kepada Orang Pribadi atau Badan apabila Surat Permohonan Pengampunan Nasional belum diisi dengan lengkap dan benar.
BAB V
FASILITAS
PASAL 9
Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a, memperoleh fasilitas dibidang perpajakan berupa:
a. Penghapusan Pajak Terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana dibidang perpajakan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan yang belum diterbitkan ketetapan pajak.
b. Tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak sebelum undang-undang ini diundangkan.
c. Dalam hal Orang Pribadi atau Badan sedang dilakukan pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan untuk kewajiban perpajakan sebelum undang-undang ini diundangkan, atas pemeriksaan pajak atau pemeriksaan bukti permulaan tersebut dihentikan.
PASAL 10
Selain memperoleh fasilitas dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Orang Pribadi atau Badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia.
Pasal 11
Orang Pribadi atau Badan yang menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional, tidak berhak:
a. mengkompensasikan kerugian fiskal untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak sebelum undang-undang ini diundangkan yang belum dikompensasikan;
b. mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak sebelum undang-undang ini diundangkan atau untuk Masa Pajak sebelum undang-undang ini diundangkan yang belum dikembalikan;
c. melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum undang-undang ini diundangkan.
BAB VI
PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM DILAPORKAN DALAM SURAT PEMBERITAHUAN PENGAMPUNAN NASIONAL
Pasal 12
Dalam hal setelah Orang Pribadi atau Badan memperoleh Surat Keputusan Pengampunan Nasional ditemukan adanya data atau informasi mengenai Harta yang belum dilaporkan, atas harta yang belum dilaporkan tersebut tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10.
BAB VII
MANAJEMEN DATA DAN INFORMASI
PASAL 13
(1) Satuan Tugas Pengampunan Nasional bekerjasama dengan instansi pemerintah, dan lembaga lainnya untuk menyelenggarakan manajemen data dan informasi dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Nasional.
(2) Setiap pejabat yang terkait dengan pelaksanaan Pengampunan Nasional dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan oleh Orang Pribadi atau Badan dalam rangka Pengampunan Nasional, kecuali atas permintaan Orang Pribadi atau Badan.
(3) Semua data dan informasi yang disampaikan Orang Pribadi atau Badan dalam rangka Pengampunan Nasional digunakan sebagai basis data nasional.
PASAL 14
Pejabat yang tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
PASAL 15
Prosedur dan tata cara untuk melaksanakan Surat Keputusan Pengampunan Nasional diatur dengan Peraturan Ketua Satuan Tugas Pengampunan Nasional.
BAB VIII
SATUAN TUGAS PENGAMPUNAN NASIONAL
PASAL 16
Satuan Tugas Pengampunan Nasional bertugas melakukan perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, serta evaluasi program Pengampunan Nasional.
PASAL 17
Susunan Organisasi, tata kerja, dan pendanaan Satuan Tugas Pengampunan Nasional ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
PERATURAN IMPLEMENTASI DAN PROSEDUR
PASAL 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. bentuk dan isi Surat Permohonan Pengampunan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
b. bentuk dan isi surat setoran;
c. prosedur dan Tatacara verifikasi sebagaimana dimaksud dapat Pasal 8; dan
d. program manajemen informasi, meliputi sistem informasi, penganggaran, prosedur dan tatacara serta pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
diatur dengan Peraturan Ketua Satuan Tugas Pengampunan Nasional.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
Alokasi Penerimaan Uang Tebusan
Penerimaan Negara dari Uang Tebusan yang dibayarkan oleh Orang Pribadi atau Badan, dibagi dengan imbangan 90% untuk Penerimaan Pajak dan 10% untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 20
Biaya Operasional
Biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program Pengampunan Nasional, dialokasikan dari realisasi penerimaan Uang Tebusan yang besaran dan tata caranya diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
PASAL 21
Undang-Undang ini mulai berlaku efektif 30 hari sejak diundangkan.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR .... TAHUN ........
TENTANG
PENGAMPUNAN NASIONAL
I. UMUM
Pengampunan Nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dapat diberikan oleh Pemerintah untuk mendorong rekonsiliasi nasional serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Indonesia pernah menerapkan Pengampunan Pajak pada tahun 1984, namun pelaksanaannya tidak berjalan dengan efektif karena kurangnya partisipasi Wajib Pajak atas kebijakan tersebut dan sistem administrasi perpajakan yang belum efektif serta pelaksanaan Pengampunan Pajak saat itu tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan yang komprehensif dan tidak terdapat jaminan pengampunan pidana lain diluar pidana pajak yang terkait dengan harta yang dilaporkan.
Banyak pelaku kejahatan yang cenderung membawa lari hasil tindak pidana ke luar negeri sebagai bentuk pencucian uang atau menjadi bagian dari kegiatan ekonomi bawah tanah di dalam negeri. Banyaknya dana atau harta yang diduga disimpan di dalam dan luar negeri dengan berbagai alasan antara lain karena harta atau penghasilan tersebut berasal dari hasil tindak pidana dan untuk menghindari pembayaran kewajiban perpajakan.
Terdapat berbagai kejahatan masa lampau yang berkaitan dengan uang/dana hasil tindak pidana, yang diduga belum selesai ditangani oleh instansi penegak hukum. hal ini diduga karena sulitnya instansi penegak hukum membuktikan asal dan aliran dana hasil tindak pidana tersebut. Tindak pidana tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pembalakan liar, tindak pidana di bidang perikanan dan kelautan, tindak pidana di bidang pertambangan, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana kepabeanan dan cukai, tindak pidana perjudian serta tindak pidana di bidang penanaman modal. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
Dalam sejarah perpajakan Indonesia, Pemerintah pernah memberikan fasilitas Pengampunan Pajak yang telah dilaksanakan pada tahun 1964 dengan pertimbangan bahwa ketentuan fiskal tidak membeda-bedakan apakah tambahan harta itu disebabkan oleh usaha-usaha halal atau diperoleh dengan tindak pidana umpama korupsi. Dengan demikian maka kelonggaran-kelonggaran fiskal yang sekiranya akan diadakan harus disertai pula kelonggaran-kelonggaran dibidang kepidanaan. Menyadari sepenuhnya bahwa aparatur pemungutan pajak belum mampu menghadapi pelanggaran-pelanggaran fiskal tersebut dan masih besarnya tantangan dan hambatan bagi aparat penegak hukum untuk mengusut kejahatan yang berkaitan dengan asal-usul harta yang tidak benar, dan disisi lain terdapat banyak potensi masyarakat pembayar pajak yang masih enggan mengungkap hartanya kedalam sistem perpajakan karena khawatir dengan pengusutan asal-usul harta mereka, maka Pemerintah perlu membentuk suatu kebijakan untuk mengatasi hal tersebut.
Dengan diterapkannya kebijakan pengampunan nasional, masyarakat pembayar pajak yang merasa bersalah dan hendak meminta pengampunan atas harta yang dimiliki, diharapkan akan bersedia memenuhi panggilan Pemerintah untuk ikut serta dan sukarela untuk segera melaporkan harta kekayaan yang ada di dalam dan luar negeri serta membayar uang tebusan untuk memperoleh pengampunan.
Dari aspek yuridis, penyusunan Undang-Undang Pengampunan Nasional merupakan suatu bentuk implementasi dari ketentuan Pasal pasal 14 ayat (2) dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945.
Pengampunan Nasional sejalan dengan kewenangan Pemerintah dalam pemberian pengampunan dalam bentuk amnesti. Pasal 14 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Presiden memberi amnesti dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembentukan Undang-Undang Pengampunan Nasional yang telah melalui pembahasan antara Pemerintah dengan DPR telah sejalan dengan semangat ketentuan UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, sehingga telah tepat apabila pengaturan tarif uang tebusan yang akan menjadi penerimaan negara termasuk subjek dan objek pengampunan diatur dalam undang-undang ini.
Dengan demikian, pelaksanaan kebijakan Pengampunan Nasional ini diharapkan dapat menjadi wahana rekonsiliasi nasional bagi seluruh potensi masyarakat pembayar pajak, sebagai transisi ke era penegakan hukum dan sistem perpajakan baru yang lebih kuat dan adil, serta meningkatkan basis pemajakan nasional.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Ayat ini mengatur mengenai perhitungan pembayaran Uang Tebusan atas harta yang dimintakan pengampunan Nasional bagi Wajib Pajak yang melaporkan Surat Permohonan Pengampunan Nasional pada periode Oktober 2015 sampai dengan Desember 2015.
Contoh 1:
Perhitungan Uang Tebusan berdasarkan Nilai harta per 31 Desember 2014 adalah:
Tahun 2014
Nilai Harta = Rp300 juta;
Apabila Wajib Pajak menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional dalam periode bulan Oktober 2015 sampai dengan Desember 2015, maka Wajib Pajak wajib membayar Uang Tebusan yang mendapat pengampunan sebesar : 3 % x Rp200 juta = Rp6 juta
Ayat (2)
Ayat ini mengatur mengenai perhitungan pembayaran Uang Tebusan atas harta yang dimintakan pengampunan Nasional bagi Wajib Pajak yang melaporkan Surat Permohonan Pengampunan Nasional pada periode Januari 2016 sampai dengan Juni 2016.
Contoh 1:
Perhitungan Uang Tebusan berdasarkan Nilai harta per 31 Desember 2014 adalah:
Tahun 2014
Nilai Harta = Rp300 juta;
Apabila Wajib Pajak menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional dalam periode bulan Januari 2016 sampai dengan Juni 2016, maka Wajib Pajak wajib membayar Uang Tebusan yang mendapat pengampunan sebesar : 5 % x Rp200 juta = Rp10 juta
Ayat (3)
Ayat ini mengatur mengenai perhitungan pembayaran Uang Tebusan atas harta yang dimintakan pengampunan Nasional bagi Wajib Pajak yang melaporkan Surat Permohonan Pengampunan Nasional pada periode Juli 2016 sampai dengan Desember 2016.
Contoh 1:
Perhitungan Uang Tebusan berdasarkan Nilai harta per 31 Desember 2014 adalah:
Tahun 2014
Nilai Harta = Rp300 juta;
Apabila Wajib Pajak menyampaikan Surat Permohonan Pengampunan Nasional dalam periode bulan Juli 2016 sampai dengan Desember 2016, maka Wajib Pajak wajib membayar Uang Tebusan yang mendapat pengampunan sebesar : 8 % x Rp200 juta = Rp16 juta
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Pencantuman syarat surat kuasa membuka rekening merupakan salah satu prasyarat utama Pengampunan Nasional agar tercipta transparansi transaksi keuangan dimasa mendatang. Hal ini untuk meminimalkan tax gap dan mendorong masyarakat untuk mengikuti Pengampunan Nasional sejujur-jujurnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud bukti pendukung daftar harta dalam ayat ini adalah segala hal yang dapat membuktikan kebenaran dari daftar harta yang dilaporkan, antara lain: akta, sertifikat, rekening koran.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Jenis pajak yang diampuni pada ayat ini adalah seluruh jenis pajak yang diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini mengatur mengenai larangan bagi setiap pejabat yang terkait pelaksanaan Pengampunan Nasional untuk memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak dalam rangka Pengampunan Nasional.
Yang di maksud pihak lain dalam Pasal ini adalah Pihak lain di luar Satuan Tugas Pengampunan Nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Untuk pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, ketentuan yang berlaku adalah Ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009. Sedangkan untuk pejabat di luar lingkungan Direktorat Jenderal Pajak ketentuan yang berlaku adalah ketentuan Pasal 322 KUHP.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas