PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 186/PMK.03/2019
TENTANG
KLASIFIKASI OBJEK PAJAK DAN TATA CARA PENETAPAN
NILAI JUAL OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, simplifikasi regulasi, dan meningkatkan pelayanan bagi Wajib Pajak, perlu mengganti ketentuan mengenai klasifikasi dan penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;
b. bahwa dengan beralihnya kewenangan pemungutan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ke Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kewenangan Direktorat Jenderal Pajak terkait Pajak Bumi dan Bangunan adalah mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan sektor lainnya;
c. bahwa untuk memberikan kepastian hukum terkait pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus dalam Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi, perlu menyelaraskan kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur secara khusus tersebut dengan mekanisme penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KLASIFIKASI OBJEK PAJAK DAN TATA CARA PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB, adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.
3. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
4. Subjek Pajak PBB yang selanjutnya disebut Subjek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
5. Wajib Pajak PBB yang selanjutnya disebut Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenai kewajiban membayar PBB.
6. Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
7. Nilai Perolehan Baru adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak tersebut.
8. Nilai Jual Objek Pajak Pengganti yang selanjutnya disebut Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
9. Biaya Investasi Tanaman adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan, dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
10. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
11. Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
12. Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan silvikultur intensif.
13. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin memanfaatkan Hutan Produksi yang kegiatannya terdiri dari penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
14. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk membangun Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
15. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
16. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui kegiatan pengayaan, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
17. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
18. Biaya Produksi Perhutanan adalah seluruh biaya langsung yang terkait dengan kegiatan produksi hasil hutan, sampai di log ponds atau log yards untuk hasil hutan kayu dan/atau sampai tempat pengumpulan hasil panen untuk hasil hutan bukan kayu pada Hutan Alam.
19. Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang digunakan untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi minyak dan/atau gas bumi.
20. Wilayah Kerja Panas Bumi adalah wilayah dengan batas- batas koordinat tertentu yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik.
21. Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan/atau gas bumi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
22. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak bumi dan/atau gas bumi, panas bumi, mineral, atau batubara, termasuk kegiatan penyelidikan, survei dan studi kelayakan, dalam Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi, Wilayah Kerja Panas Bumi, wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, atau wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
23. Eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan/atau gas bumi, atau panas bumi, dari Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi.
24. Permukaan Bumi Pertambangan Onshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Onshore adalah areal berupa tanah dan/atau perairan darat di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara.
25. Permukaan Bumi Pertambangan Offshore yang selanjutnya disebut Permukaan Bumi Offshore adalah areal berupa perairan yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dan perairan di dalam Batas Landas Kontinen.
26. Tubuh Bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi, pengusahaan panas bumi, atau pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Eksplorasi.
27. Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan minyak
dan/atau gas bumi, atau pengusahaan panas bumi, pada kegiatan Eksploitasi.
28. Operasi Produksi adalah kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan dalam wilayah sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, dan wilayah berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
29. Tubuh Bumi Operasi Produksi adalah tubuh bumi yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara, pada kegiatan Operasi Produksi.
30. Harga Patokan Mineral Logam, yang selanjutnya disebut HPM Logam, adalah harga mineral logam yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan (at sale point) secara Free on Board untuk masing-masing komoditas tambang mineral logam.
31. Harga Patokan Mineral Bukan Logam, yang selanjutnya disebut HPM Bukan Logam, adalah harga patokan mineral bukan logam yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
32. Harga Patokan Batuan adalah harga patokan batuan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk masing-masing komoditas tambang dalam 1 (satu) provinsi, kabupaten atau kota.
33. Harga Patokan Batubara, yang selanjutnya disingkat HPB, adalah harga batubara yang ditentukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pada suatu titik serah penjualan (at sale point) secara Free on Board.
34. Angka Kapitalisasi adalah angka pengali tertentu yang digunakan untuk mengonversi pendapatan atau hasil produksi satu tahun menjadi NJOP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
35. Rasio Biaya Produksi adalah persentase tertentu yang diperoleh dari rata-rata biaya produksi satu tahun dibandingkan dengan rata-rata pendapatan kotor satu tahun, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
36. Penilai Pajak adalah Pejabat Fungsional Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Asisten Penilai Pajak, Petugas Penilai Pajak, Pejabat Fungsional Penilai PBB, dan Petugas Penilai PBB.
37. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan Undang-Undang PBB.
38. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada Wajib Pajak.
39. Surat Ketetapan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB terutang.
40. Surat Tagihan Pajak PBB yang selanjutnya disingkat STP PBB adalah surat untuk melakukan tagihan
PBB terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran.
41. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan
31 Desember.
42. Iuran Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Ipeda adalah pungutan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
BAB II
KLASIFIKASI OBJEK PAJAK
Pasal 2
Objek pajak diklasifikasikan menjadi :
a. objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan;
b. objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perhutanan;
c. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan minyak dan/ atau gas bumi;
d. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
e. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara; dan
f. objek pajak PBB Sektor Lainnya meliputi bumi dan/atau bangunan selain objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, atau objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, yang :
1. berada di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, atau perairan di dalam Batas Landas Kontinen Indonesia; dan
2. selain objek PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Pasal 3
(1) Bumi yang berada dalam kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi permukaan bumi.
(2) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. areal sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Perkebunan Budidaya, Izin Usaha Perkebunan, Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan, dan/atau Hak Guna Usaha untuk perkebunan; dan
b. areal di luar areal sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan dan secara fisik tidak terpisahkan.
(3) Tidak termasuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi areal yang sudah diberikan Izin Usaha Perkebunan-Pengolahan.
(4) Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. areal yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih, yang sama dengan titik koordinat areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dengan atau tanpa pembatas; atau
b. areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melalui sungai, parit, jalan, atau jembatan.
(5) Dalam hal terdapat areal pada kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB.
(6) Dalam hal terdapat areal pada kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dipunyai haknya dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya secara nyata dan sah oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Perkebunan.
Pasal 4
(1) Bumi yang berada dalam kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi permukaan bumi.
(2) Kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. areal sebagaimana tercantum dalam IUPHHK-HA dan/atau IUPHHBK-HA, IUPHHK-RE,
IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. areal di luar areal sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan dan secara fisik tidak terpisahkan.
(3) Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. areal yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih, yang sama dengan titik koordinat areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dengan atau tanpa pembatas; atau
b. areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melalui
sungai, parit, jalan, atau jembatan.
(4) Dalam hal terdapat areal pada kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB.
(5) Dalam hal terdapat areal pada kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dipunyai haknya dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya secara nyata dan sah oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Perhutanan.
Pasal 5
(1) Bumi yang berada dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi:
a. Permukaan Bumi Onshore;
b. Permukaan Bumi Offshore; dan/atau
c. tubuh bumi.
(2) Kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Sama; dan
b. areal di luar Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi dan secara fisik tidak terpisahkan.
(3) Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. areal yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih, yang sama dengan titik koordinat Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dengan atau tanpa pembatas; atau
b. areal yang terhubung dengan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melalui sungai, jaringan pipa, jalan, atau jembatan.
(4) Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi termasuk fasilitas dan penunjangnya.
(5) Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Sama.
(6) Dalam hal terdapat areal pada Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB.
(7) Dalam hal terdapat areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 6
(1) Bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:
a. Permukaan Bumi Onshore;
b. Permukaan Bumi Offshore; dan/atau
c. tubuh bumi.
(2) Kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana tercantum dalam Izin Panas Bumi, Kuasa Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Kontrak Operasi Bersama Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, atau penugasan pengusahaan panas bumi; dan
b. areal di luar Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk pengusahaan panas bumi dan secara fisik tidak terpisahkan.
(3) Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. areal yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih, yang sama dengan titik koordinat Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dengan atau tanpa pembatas; atau
b. areal yang terhubung dengan Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a melalui sungai, jaringan pipa, jalan, atau jembatan.
(4) Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dan digunakan untuk pengusahaan panas bumi termasuk fasilitas dan penunjangnya.
(5) Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana tercantum dalam dokumen Izin Panas Bumi, Kuasa Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Kontrak Operasi Bersama Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, atau penugasan pengusahaan panas bumi.
(6) Dalam hal terdapat areal pada Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB.
(7) Dalam hal terdapat areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi.
Pasal 7
(1) Bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi:
a. Permukaan Bumi Onshore;
b. Permukaan Bumi Offshore; dan/atau
c. tubuh bumi.
(2) Kawasan pertambangan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. areal sebagaimana tercantum dalam Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara; dan
b. areal di luar areal sebagaimana dimaksud pada huruf a yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara dan secara fisik tidak terpisahkan.
(3) Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. areal yang memiliki 1 (satu) titik koordinat atau lebih, yang sama dengan titik koordinat areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dengan atau tanpa pembatas; atau
b. areal yang terhubung dengan areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melalui sungai, jaringan pipa, konveyor, jalan, atau jembatan.
(4) Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara termasuk fasilitas dan penunjangnya.
(5) Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi wilayah sebagaimana tercantum dalam dokumen Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
(6) Dalam hal terdapat areal pada Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB.
(7) Dalam hal terdapat areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara.
Pasal 8
(1) Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi perairan yang digunakan untuk:
a. perikanan tangkap;
b. pembudidayaan ikan;
c. jaringan pipa;
d. jaringan kabel;
e. ruas jalan tol; atau
f. fasilitas penyimpanan dan pengolahan meliputi Floating Storage and Offloading (FSO), Floating Production System (FPS), Floating Processing Unit (FPU), Floating Storage Unit (FSU), Floating Production Storage and Offloading (FPSO), Floating Storage Regasification Unit (FSRU).
(2) Perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang telah diberikan Surat Izin Usaha Perikanan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal 9
(1) Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi:
a. yang berada dalam kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
b. yang berada dalam kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
c. yang berada dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
d. yang berada dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); atau
e. yang berada dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(2) Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia, meliputi:
a. jaringan pipa;
b. jaringan kabel;
c. ruas jalan tol; atau
d. fasilitas penyimpanan dan pengolahan, meliputi Floating Storage and Offloading (FSO), Floating Production System (FPS), Floating Processing Unit (FPU), Floating Storage Unit (FSU), Floating Production Storage and Offloading (FPSO), Floating Storage Regasification Unit (FSRU).
BAB III
TATA CARA PENETAPAN NJOP SEBAGAI DASAR PENGENAAN PBB
Bagian Kesatu
Tata Cara Penetapan NJOP Pasal 10
Nilai Jual Objek Pajak merupakan dasar pengenaan pajak PBB.
Pasal 11
NJOP PBB merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan.
Pasal 12
Penilaian objek pajak untuk penetapan NJOP bumi dan NJOP bangunan dilakukan oleh Penilai Pajak.
Pasal 13
Penghitungan PBB dalam Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi mengikuti ketentuan dalam Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi.
Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Perkebunan
Pasal 14
(1) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, bumi yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi:
a. Areal Produktif Perkebunan merupakan areal yang telah ditanami tanaman perkebunan, meliputi tanah dan pengembangan tanah berupa tanaman;
b. Areal Belum Produktif Perkebunan merupakan areal yang belum ditanami tanaman perkebunan, meliputi areal yang belum diolah, areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami, dan areal pembibitan;
c. Areal Tidak Produktif Perkebunan merupakan areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan;
d. Areal Pengaman Perkebunan merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perkebunan; dan
e. Areal Emplasemen Perkebunan merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk
bangunan serta fasilitas penunjangnya.
(2) NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. NJOP bumi untuk Areal Produktif Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
1. tanah, ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis; dan
2. pengembangan tanah, ditentukan berdasarkan penghitungan Biaya Investasi Tanaman;
b. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam huruf b; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis.
(3) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Produktif Perkebunan, Areal Belum Produktif Perkebunan, Areal Tidak Produktif Perkebunan, Areal Pengaman Perkebunan, dan Areal Emplasemen Perkebunan.
(4) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Perhutanan
Pasal 15
(1) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, bumi yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi :
a. Areal Produktif Perhutanan merupakan :
1. areal blok tebangan pada Hutan Alam dengan IUPHHK-HA dan/atau areal blok pemanenan pada Hutan Alam dengan IUPHHBK-HA; atau
2. areal yang telah ditanami pada Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau
IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi tanah dan pengembangan tanah berupa tanaman;
b. Areal Belum Produktif Perhutanan merupakan:
1. areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan IUPHHK-HA dan/atau areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada Hutan Alam dengan IUPHHBK-HA; atau
2. areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau areal yang sudah diolah pada Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Areal Tidak Produktif Perhutanan merupakan :
1. areal pada Hutan Alam dengan IUPHHK-RE yang belum tercapai keseimbangan ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan/atau
2. areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perhutanan, yang meliputi areal tidak layak kelola, areal pengelolaan sosial dan tanaman kehidupan, areal yang dimanfaatkan oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak secara tidak sah, serta areal yang dimanfaatkan tidak sepenuhnya oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak secara sah;
d. Areal Pengaman Perhutanan merupakan areal yang telah melalui proses rekayasa dan dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perhutanan meliputi areal log ponds atau log yards, tempat pengumpulan hasil panen, jalan, kanal, parit, dan tanggul;
e. Areal Emplasemen Perhutanan merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya; dan
f. Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan, merupakan:
1. areal yang memiliki fungsi dan peruntukan sebagai perlindungan dan konservasi, meliputi sungai, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, zona penyangga (buffer zone), dan
2. areal hutan yang ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest).
(2) NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. NJOP bumi untuk Areal Produktif Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih hasil hutan dengan Angka Kapitalisasi;
b. NJOP bumi untuk Areal Produktif Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 2 berupa :
1. tanah, ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis; dan
2. pengembangan tanah, ditentukan berdasarkan penghitungan Biaya Investasi Tanaman;
c. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
d. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
e. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Perhutanan sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
f. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Perhutanan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf e ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis; dan
g. NJOP bumi untuk Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Produktif Perhutanan, Areal Belum Produktif Perhutanan, Areal Tidak Produktif Perhutanan, Areal Pengaman Perhutanan, Areal Emplasemen Perhutanan, dan Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan.
(4) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Pasal 16
(1) Pendapatan bersih hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a merupakan pendapatan kotor hasil hutan dikurangi Biaya Produksi Perhutanan.
(2) Pendapatan kotor hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian jumlah produksi hasil hutan dengan harga jual hasil hutan.
(3) Jumlah produksi hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah produksi hasil hutan kayu dan/atau jumlah produksi hasil hutan bukan kayu, yang dihitung dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(4) Harga jual hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harga jual rata-rata hasil hutan kayu dan/atau harga jual rata-rata hasil hutan bukan kayu, yang dihitung dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(5) Harga jual rata-rata hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan harga jual rata-rata hasil hutan kayu yang terjadi pada tempat penimbunan kayu (log pond atau log yard).
(6) Biaya Produksi Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan Rasio Biaya Produksi dengan pendapatan kotor hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Bagian Keempat
Tata Cara Penetapan NJOP PBB
Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Pasal 17
(1) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi :
a. Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
b. Areal Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
c. Areal Tidak Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
d. Areal Pengaman Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang dimanfaatkan
sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi;
dan
e. Areal Emplasemen Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
(2) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b berupa Areal Offshore Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi.
(3) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c meliputi :
a. Tubuh Bumi Eksplorasi; atau
b. Tubuh Bumi Eksploitasi.
(4) NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
b. NJOP bumi untuk Areal Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis.
(5) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Pengaman Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Areal Emplasemen Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
(6) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Areal Offshore Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(7) NJOP bumi untuk Tubuh Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
b. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan minyak dan/atau gas bumi dengan Angka Kapitalisasi; atau
c. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(8) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Pasal 18
(1) Pendapatan minyak dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7) huruf b merupakan penjualan kotor (gross sales) minyak dan/atau gas bumi sebagaimana tertuang dalam
Financial Quarterly Report (FQR) triwulan IV Wajib Pajak pada tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB
terutang.
(2) Dalam hal penjualan kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan satuan mata uang selain mata uang Rupiah, penjualan kotor harus dikonversi dalam satuan mata uang Rupiah berdasarkan kurs mata uang pada tanggal 1 Januari Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan nilai kurs pajak.
Bagian Kelima
Tata Cara Penetapan NJOP PBB
Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
Pasal 19
(1) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a meliputi :
a. Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi;
b. Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi;
c. Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi;
d. Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan pengusahaan panas bumi; dan
e. Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang
di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
(2) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b berupa Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan panas bumi.
(3) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c meliputi :
a. Tubuh Bumi Eksplorasi; atau
b. Tubuh Bumi Eksploitasi.
(4) NJOP bumi untuk areal pada Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
b. NJOP bumi untuk Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis.
(5) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi.
(6) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(7) NJOP bumi untuk Tubuh Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
b. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan uap dan/atau listrik dengan Angka Kapitalisasi; atau
c. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(8) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Pasal 20
(1) Pendapatan uap dan/atau listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) huruf b merupakan hasil perkalian:
a. hasil produksi uap dengan harga uap; dan/atau
b. hasil produksi listrik dengan harga listrik.
(2) Hasil produksi uap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan hasil produksi uap yang terjual dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(3) Hasil produksi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan hasil produksi listrik yang terjual dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(4) Harga uap dan harga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
Bagian Keenam
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara
Pasal 21
(1) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi:
a. Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan mineral atau batubara atau yang sedang dilakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan/atau studi kelayakan;
b. Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang belum dilakukan pengambilan mineral atau batubara;
c. Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang tidak dapat diusahakan penambangan mineral atau batubara, atau yang telah selesai diusahakan penambangan mineral atau batubara;
d. Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman penambangan mineral atau batubara; dan
e. Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
(2) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b berupa Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara.
(3) Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c meliputi:
a. Tubuh Bumi Eksplorasi; atau
b. Tubuh Bumi Operasi Produksi.
(4) NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. NJOP bumi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
b. NJOP bumi untuk Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf e ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek
Lain yang Sejenis.
(5) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara.
(6) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(7) NJOP bumi untuk Tubuh Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
b. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih mineral atau batubara dengan Angka Kapitalisasi;
c. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau
d. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan sebesar Rp0,00 (nol Rupiah), dalam hal pendapatan bersih mineral atau batubara kurang dari Rp0,00 (nol Rupiah).
(8) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Pasal 22
(1) Pendapatan bersih mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (7) huruf b merupakan pendapatan kotor mineral atau batubara dikurangi biaya produksi mineral atau batubara.
(2) Pendapatan kotor mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil
perkalian hasil produksi mineral atau batubara dengan harga jual mineral atau batubara.
(3) Hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah mineral atau batubara yang dihasilkan dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(4) Harga jual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harga jual
rata-rata:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam;
c. batuan; atau
d. batubara,
yang dihitung dengan cara membagi jumlah penjualan dengan volume penjualan atas mineral atau
batubara dalam satu tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(5) Biaya produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya untuk memperoleh hasil produksi mineral atau batubara dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(6) Biaya produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;
b. sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha; dan
c. merupakan biaya yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan:
1. pengupasan lapisan tanah;
2. pengambilan hasil produksi mineral atau batubara;
3. pengolahan dan/atau pemurnian hasil produksi mineral atau batubara; dan/atau
4. pengangkutan hasil produksi mineral atau batubara, pada tahap operasi produksi.
(7) Dalam hal penghitungan PBB terutang menggunakan komponen penerimaan kotor hasil operasi pertambangan sebagaimana diatur secara khusus berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, penghitungan penerimaan kotor tersebut diperoleh dari perkalian hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan harga jual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(8) Penilaian atas kewajaran biaya produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hasil produksi dan harga jual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pajak.
(9) Jenis mineral logam, mineral bukan logam atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada ketentuan yang diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, atau kepala daerah.
Pasal 23
(1) Dalam hal harga jual rata-rata mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada HPM Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual mineral logam menggunakan HPM Logam rata-rata.
(2) Dalam hal harga jual rata-rata mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada HPM Bukan Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual mineral bukan logam menggunakan HPM Bukan Logam rata-rata.
(3) Dalam hal harga jual rata-rata batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada Harga Patokan Batuan rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual batuan menggunakan Harga Patokan Batuan rata-rata.
(4) Dalam hal harga jual rata-rata batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada HPB rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual batubara menggunakan HPB rata-rata.
Pasal 24
(1) Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), harga jual mineral logam menggunakan HPM Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(2) Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (4), harga jual mineral bukan logam menggunakan HPM Bukan Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(3) Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), harga jual batuan menggunakan Harga Patokan Batuan rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(4) Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), harga jual batubara menggunakan HPB rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Pasal 25
Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata mineral logam, mineral bukan logam, batuan, atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), dan tidak terdapat HPM Logam rata-rata, HPM Bukan Logam rata-rata, Harga Patokan Batuan rata-rata, atau HPB rata-rata, dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual mineral atau batubara rata-rata dihitung oleh Penilai Pajak.
Pasal 26
HPM Logam rata-rata, HPM Bukan Logam rata-rata, Harga Patokan Batuan rata-rata, atau HPB rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 digunakan untuk komoditas galian tambang yang sejenis dan setara.
Pasal 27
(1) HPM Logam rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) atau HPB rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) digunakan untuk penetapan harga jual mineral logam atau batubara dengan titik serah penjualan (at sale point) secara Free on Board di atas kapal pengangkut (vessel).
(2) Dalam hal titik serah penjualan dilakukan selain secara Free on Board di atas kapal pengangkut (vessel) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan harga jual mineral logam atau batubara dihitung berdasarkan HPM Logam rata-rata dan HPB rata-rata dengan mempertimbangkan biaya penyesuaian yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 28
HPM Bukan Logam rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) atau Harga Patokan Batuan rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) digunakan dalam penetapan harga jual mineral bukan logam atau batuan, dalam hal penjualan dilaksanakan di lokasi tambang.
Pasal 29
Dalam hal penjualan mineral atau batubara dilakukan dengan cara selain yang dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28, harga jual rata-rata mineral atau batubara merupakan harga jual rata-rata yang disepakati antara penjual dan pembeli dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
Pasal 30
Dalam hal galian tambang merupakan batubara jenis tertentu, batubara untuk keperluan tertentu, atau batubara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, penetapan harga jual batubara mengacu pada formula harga batubara yang diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 31
Dalam hal harga jual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) menggunakan satuan mata uang selain mata uang Rupiah, harga jual mineral atau batubara harus dikonversi dalam satuan mata uang Rupiah berdasarkan kurs mata uang pada tanggal 1 Januari Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan nilai kurs pajak.
Pasal 32
(1) Kegiatan pengupasan lapisan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 1 merupakan kegiatan pengupasan tanah pucuk (top soil) dan/atau pengupasan tanah penutup (stripping over burden) dalam kegiatan operasi produksi.
(2) Kegiatan pengambilan hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 2 merupakan kegiatan pengambilan galian tambang.
(3) Kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 3 meliputi kegiatan:
a. pembersihan dan pemisahan mineral atau batubara dari bahan galian ikutannya;
b. penghancuran mineral atau batubara yang berukuran besar menjadi ukuran tertentu sesuai dengan karakteristiknya; dan/atau
c. peningkatan kualitas hasil produksi mineral.
(4) Kegiatan pengangkutan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 4 merupakan kegiatan pengangkutan hasil produksi mineral atau batubara dari lokasi penambangan ke titik serah penjualan.
Bagian Ketujuh
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Lainnya
Pasal 33
(1) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih perikanan tangkap dengan Angka Kapitalisasi.
(2) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih pembudidayaan ikan dengan Angka Kapitalisasi.
(3) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan huruf b yang tidak terdapat hasil produksi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(4) NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(5) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Pasal 34
(1) Pendapatan bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) ditentukan sebesar pendapatan kotor dikurangi biaya produksi, dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(2) Pendapatan kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian jumlah produksi per jenis ikan dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang dengan harga jual rata-rata per jenis ikan per satuan berat tertentu.
(3) Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian pendapatan kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Rasio Biaya Produksi.
(4) Jenis ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan yang diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal 35
(1) Luas bumi untuk perikanan tangkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a merupakan hasil perkalian jumlah kapal dengan luas areal penangkapan ikan per kapal.
(2) Luas areal penangkapan ikan per kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Luas bumi untuk pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b merupakan luas yang tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(4) Luas bumi untuk jaringan pipa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c merupakan hasil perkalian panjang pipa dengan dua kali diameter pipa.
(5) Luas bumi untuk jaringan kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan hasil perkalian panjang kabel dengan dua kali diameter kabel.
(6) Luas bumi untuk ruas jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e merupakan hasil perkalian jumlah tapak dengan luas pondasi tapak.
(7) Luas bumi untuk fasilitas penyimpanan dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f merupakan luas berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Pasal 36
(1) Luas bangunan untuk jaringan pipa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a atau jaringan kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b merupakan hasil perkalian panjang pipa atau kabel dengan diameter pipa atau kabel.
(2) Luas bangunan untuk ruas jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c merupakan hasil perkalian panjang ruas jalan tol dengan lebar ruas jalan tol.
(3) Luas bangunan untuk fasilitas penyimpanan dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d merupakan hasil perkalian panjang dengan lebar bangunan.
Bagian Kedelapan
Tata Cara Penetapan NJOP Berdasarkan Kontrak, Perjanjian, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi
Pasal 37
Wajib Pajak pemegang Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mengembalikan SPOP yang telah diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat objek pajak terdaftar yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan objek pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak.
Bagian Kesembilan
Pengenaan PBB
Pasal 38
(1) Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya PBB terutang melalui penerbitan:
a. SPPT; atau
b. SKP PBB,
dengan menggunakan NJOP PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(2) SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) tahun setelah berakhirnya Tahun Pajak PBB terutang.
(3) Penerbitan SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan SKP PBB.
(4) Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya PBB terutang sebagai pemenuhan kewajiban Ipeda sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Generasi I melalui penerbitan SPPT.
Pasal 39
(1) SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a diterbitkan untuk 1 (satu) Tahun Pajak. (2) Penerbitan SPPT dilakukan berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak.
(3) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani serta dilampiri dokumen pendukung isian SPOP.
(4) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Perkebunan meliputi :
a. dokumen Izin Usaha Perkebunan dan/atau Hak Guna Usaha; dan
b. Laporan Perkembangan Usaha Perkebunan dan Peta Tahun Tanam tahun terakhir sebelum
Tahun Pajak PBB terutang.
(5) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Perhutanan meliputi:
a. dokumen izin dan penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan;
b. Rencana Kerja Usaha Tahun Pajak PBB terutang; dan
c. Rencana Kerja Tahunan beserta Peta Kerja Tahun Pajak PBB terutang atau tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(6) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi:
a. dokumen kontrak yang ditandatangani oleh Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
b. Peta Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi;
c. Authorization for Expenditure (AFE), dan Financial Quarterly Report (FQR) triwulan IV tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang; dan
d. dokumen kontrak atau perjanjian jual beli gas untuk pertambangan gas bumi tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(7) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi meliputi:
a. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau dokumen kontrak;
b. Peta Wilayah Kerja Panas Bumi; dan
c. Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun Pajak PBB terutang.
(8) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi:
a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Kepala Daerah atau dokumen kontrak atau perjanjian; dan
b. Rencana Kerja dan Anggaran Biaya tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(9) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Lainnya meliputi:
a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan dan bidang perhubungan; dan
b. dokumen lain yang menjadi dasar pengisian SPOP.
(10) Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) belum dapat dilampirkan, SPOP dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:
a. ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak; dan
b. menjelaskan alasan tidak dapat dilampirkannya dokumen dimaksud.
(11) Dalam hal SPPT dilakukan upaya hukum sehingga terbit keputusan atau putusan, berupa:
a. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB;
b. Surat Keputusan Pembetulan;
c. Surat Keputusan Pengurangan SPPT yang Tidak Benar;
d. Surat Keputusan Keberatan;
e. Putusan Banding;
f. Putusan Gugatan; atau
g. Putusan Peninjauan Kembali,
SPPT dimaksud dilakukan penerbitan kembali sesuai isi keputusan atau putusan.
(12) Dalam hal dilakukan penerbitan kembali SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (11), SPPT yang diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku.
(13) SPPT hasil penerbitan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (11) tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
(14) Dalam hal terdapat permohonan cetak ulang SPPT oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, dilakukan pencetakan ulang atas SPPT yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (11).
(15) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak serta dilampiri dengan:
a. fotokopi SPPT Tahun Pajak sebelumnya;
b. fotokopi bukti pembayaran PBB Tahun Pajak sebelumnya; dan
c. surat kuasa dari Wajib Pajak, dalam hal permohonan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak.
(16) Ketentuan mengenai bentuk dan isi SPPT diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 40
(1) Penyampaian SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a kepada Wajib Pajak dapat dilakukan:
a. secara langsung, dengan diberikan tanda terima penyampaian SPPT;
b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau c. melalui saluran elektronik tertentu dengan bukti pengiriman yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
(2) Tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak merupakan tanggal yang tercantum dalam:
a. tanda terima penyampaian SPPT, dalam hal disampaikan secara langsung;
b. bukti pengiriman, dalam hal disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir; atau
c. bukti pengiriman melalui saluran elektronik tertentu yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
(3) PBB terutang berdasarkan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a harus dilunasi oleh Wajib Pajak selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(4) Dalam hal dilakukan penerbitan kembali SPPT atau penerbitan SPPT cetak ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (11) atau ayat (14), jatuh tempo pelunasan SPPT dihitung dari tanggal diterimanya SPPT yang diterbitkan pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) oleh Wajib Pajak. (5) Dalam hal PBB terutang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan STP PBB yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai STP PBB.
Pasal 41
(1) Dalam hal terdapat pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi kepada Pemerintah, Wajib Pajak atau satuan kerja atau instansi yang bidang tugas dan kewenangannya menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat objek pajak terdaftar paling lambat akhir Tahun Pajak dilakukannya pengembalian dengan dilampiri:
a. surat pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang disampaikan Wajib Pajak kepada satuan kerja atau instansi yang bidang tugas dan kewenangannya menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi; dan
b. surat keterangan bahwa Wajib Pajak tidak sedang memanfaatkan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang diterbitkan oleh satuan kerja atau instansi yang bidang tugas dan kewenangannya menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi.
(2) Dalam hal terdapat pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Panas Bumi kepada Pemerintah, Wajib Pajak atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat objek pajak terdaftar paling lambat akhir Tahun Pajak dilakukannya pengembalian dengan dilampiri:
a. surat pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Panas Bumi yang disampaikan Wajib Pajak kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral; dan
b. surat keterangan bahwa Wajib Pajak tidak sedang memanfaatkan Wilayah Kerja Panas Bumi yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak perlu mengisi dan mengembalikan SPOP untuk Tahun Pajak setelah Tahun Pajak pengajuan pengembalian Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan SPPT untuk Tahun Pajak setelah Tahun Pajak pengajuan pengembalian Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Dalam hal pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditolak oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya PBB terutang sejak Tahun Pajak setelah keputusan penolakan.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, klasifikasi dan penetapan NJOP untuk tahun pajak sebelum Tahun Pajak 2020 dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan dan peraturan pelaksanaannya.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 27 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 573), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.03/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1381); dan
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 944), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Desember 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 1595